Selasa, Januari 06, 2009

Dari Kopi Kintamani sampai Protokol Madrid

Bisnis Indonesia, 31 Desember 2008 (Oleh Suwantin Oemar)

Perlindungan indikasi geografis dan rencana pemerintah meratifikasi Protokol Madrid merupakan dua isu menarik berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual HaKI sepanjang tahun 2008. Perlindungan indikasi geografis menjadi menarik karena Indonesia untuk pertama kalinnya memberikan sertifikat indikasi geografis kepada produk Kopi Arabika Kintamani Bali pada penghujung tahun ini. Pemberian sertifikat itu menandai babak baru bagi Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap indikasi geografis, yang sudah lama ditunggutunggu sejak 2001.


Sertifikat indikasi geografis itu diterima oleh perwakilan kelompok Masyarakat Pelindung Indikasi Geografis Kintamani Bali. Kelompok masyarakat itulah yang berinisiatif sebagai pemohon untuk melindungi kopi arabika Kintamani Bali. Sesuai dengan sertifikat itu, ruang lingkup indikasi geografis kopi arabika Kintamani Bali mencakup enam kecamatan yaitu Kecamatan Kintamani, Kecamatan Bangli, Kecamatan Petang, Kecamatan Sukesade, Kecamatan Sawan dan Kecamatan Ubutambahan. Produsen kopi di enam kecamatan itu kini memiliki hak eksklusif untuk mengedarkan atau memperdagangkan kopi dengan label kopi Arabika Kintamani Bali.


Sementara itu isu ratifikasi Protokol Madrid menarik perhatian setelah adanya isyarat bahwa Indonesia akan bergabung ke dalam Protokol Madrid. Meski belum ada jadwal Indonesia untuk meratifikasi konvensi itu, namun, isyarat ke arah itu sudah ada. Pada acara working group di Bali, pada tahun ini sudah ada kesepakatan di antara negara anggota Asean untuk bergabung ke Protokol Madrid. Bahkan Dirjen hak kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, Andy N Sommeng, pernah mengatakan bahwa dalam perjanjian kemitraan antara Indonesia dan Jepang sudah ada komitmen dari pemerintah bahwa Indonesia akan bergabung ke Protokol Madrid.


Bahklan, dalam amendemen UU Merek, yang sedang dibahas oleh pemerintah saat ini sudah mencantumkan soal pendaftaran merek secara internasional melalui Protokol Madrid. Artinya, bergabungnya Indonesia ke Protokol Madrid itu tinggal menunggu waktu, kalaupun ada pembahasan untuk mengkaji untung ruginya meratifikasi konvensi itu, hal itu tidak akan menjadi ganjalan, paling hanya menunda beberapa saat.


Bukan hal baru

Protokol Madrid bukan hal baru bagi negara di dunia, terutama bagi negara yang mengandalkan mereka dalam perdagangan global. Konsep dasar Protokol Madrid adalah satu aplikasi merek untuk mendapatkan perlindungan hukum di banyak negara.


Sekadar ilustrasi, seorang pemilik merek dagang di Indonesia bila ingin mendaftarkan mereknya di banyak negara, permohonan cukup diajukan ke Direktorat Merk Ditjen hak kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, tidak perlu datang ke masing-masing negara yang dituju. Bila Indonesia tidak meratifikasi Protokol Madrid, pemilik merek dari dalam negeri harus mendaftarkan mereknya di setiap negara. Cara ini akan merepotkan, tidak efisien dan menimbulkan biaya cukup mahal.


Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara sudah terlebih dahulu bergabung dengan Protokol Madrid seperti Singapura dan Vietnam. Hingga tahun 2006, tercatat sebanyak 77 negara sudah meratifikasi konvensi Protokol Madrid, ditambah dengan negara dari anggota Masyarakat Eropa.


Ada pro dan kontra terhadap rencana pemerintah meratifikasi konvensi itu Pihak yang pro beralasan dunia memang ke arah sana, kalau tidak ikut berarti Indonesia akan ketinggalan. Pihak yang kontra berdalih bahwa Protokol Madrid lebih banyak merugikan Indonesia.


Bila dilihat dari sisi pengusaha, jelas Protokol Madrid akan menguntungkan mereka. Sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan mendukung Indonesia bergabung ke Protokol Madrid karena memberikan kemudahan bagi mereka untuk mendaftarkan merek ke luar negeri. Dari sisi pemilik merek, konvensi itu memberikan harapan akan memacu pengusaha lokal mendaftarkan merek dagang ke mancanegara karena prosedurnya sangat sederhana, mudah dan biaya relatif murah.


Namun, tidak demikian halnya dilihat dari sisi kepentingan konsultan hak atas kekayaan intelektual. Banyak di antara kalangan konsultan HaKI keberatan dan menolak supaya Indonesia tidak meratifikasi konvensi itu. Bila Indonesia bergabung ke Protokol Madrid, semua permohonan merek dari luar negeri ke Indonesia akan menggunakan sistem Madrid itu, sehingga akan menghilangkan peranan konsultan HaKI di dalam negeri.


Melalui konsultan

Hingga saat ini, sesuai dengan UU Merek, setiap permohonan merek dari luar negeri ke Indonesia harus melalui konsultan HaKI. Artinya, selama ini mereka cukup nyaman dengan sistem yang berlaku saat ini. Sekadar contoh, selama tahun 2007 periode Januari-Oktober tercacat sebanyak 9615 permohonan merek dari luar negeri. Semua permohonan itu menggunakan jasa konsultan di dalam negeri.


Bisa dibayangkan profesi konsultan HaKI akan paling terpukul secara langsung bila Indonesia meratifikasi konvensi itu. Jasa atau fee, yang selama ini mereka peroleh dari klien dari luar negeri akan hilang.


Diakui bahwa konsultan HaKI akan terkena dampak langsung dari ratifikasi konvensi itu. Namun, para konsultan hendaknya juga harus kreatif tidak melulu mengandalkan pemasukan dari jasa pendaftaran merek asing. Banyak jasa berkaitan dengan HaKI yang bisa diberikan oleh para konsultan kepada kliennya seperti perjanjian lisensi dan lain-lain.

Tidak ada komentar: