Selasa, Desember 23, 2008

Industri Rekaman & ISP Kerja Sama

www.bisnis.com, 23 Desember 2008

NEW YORK: Asosiasi Industri Rekaman Amerika Serikat berencana melakukan kerja sama dengan penyedia layanan internet (ISP), guna mengurangi terjadinya pembajakan musik.

Wall Street Journal melaporkan tindakan itu dilaksanakan kedua pihak, karena upaya hukum yang dilakukan gagal menghambat terjadinya aktivitas berbagi file yang dilakukan secara ilegal.

Perjanjian awal yang telah dicapai, menurut laporan Wall Street Journal, kemarin adalah antara aso-siasi industri rekaman dan para penyedia layanan Internet.

Berdasarkan perjanjian, ISP akan memberitahukan pesan dari asosiasi kepada pengguna Internet, pada saat ISP mendeteksi adanya pengunduhan musik secara ilegal.

ISP akan memperlambat pelayanannya atau menghentikan akses tersebut, jika para pengguna Internet mengabaikan pesan yang disampaikan tersebut. (Bloomberg/elh)

Rabu, Desember 17, 2008

Produk Khas dan Sertifikasi

Majalah Trust, 8-14 Desember 2008

Untuk pertama kalinya Ditjen HKI menerbitkan sertifikat indikasi geografis Indonesia. Sertifikat itu diberikan kepada Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) kopi arabika Kintamani Bali.

Masyarakat yang memiliki produk hasil yang khas berindikasi geografis (geographical indication), kini bisa mendaftarkan keunikan itu kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM. Terhadap produk indikasi geografis tersebut, Kamis pekan silam, untuk pertama kalinya Ditjen HKI mengeluarkan sertifikat indikasi geografis terhadap kopi arabika Kintamani Bali.

Sertifikat tersebut diberikan kepada masyarakat Kecamatan Kintamani, Bangli, Pupuan, Kabupaten Badung, dan beberapa kecamatan di Kabupaten Buleleng. Penyerahan sertifikatnya akan dilakukan bersamaan dengan seminar dan sosialisasi indikasi geografis di Bali, pada 11 hingga 13 Desember 2008.

Sekadar informasi, berdasarkan UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek, khususnya Bab IXa dan PP No. 51 Tahun 2007, indikasi geografis didefinisikan sebagai suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang yang karena faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Pemberian sertifikat perlindungan indikasi geografis itu, maksudnya tak lain untuk melindungi kekayaan yang ada di dalam negeri selain hak cipta, paten, dan merek. Kopi Kintamani Bali merupakan pilot project dan pemohon pertama setelah pemerintah membuka pendaftaran produk indikasi geografis sejak September tahun lalu.

Kini setelah kopi Kintamani mendapat sertifikat indikasi geografis, pengusaha lain di luar wilayah yang sudah ditentukan dalam peta wilayah tidak boleh menggunakan atau menempelkan label indikasi geografis pada produk itu. Sekedar contoh, jika ada pihak lain yang mengklaim dan menempelkan label kopi Kintamani pada kemasan produknya, padahal produk tersebut dihasilkan bukan dari wilayah Kintamani, maka hal itu merupakan pelanggaran dan pelakunya bisa dituntut.

Dibanding negara lain, menurut Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM Andy Noorsaman Sommeng, upaya untuk memberikan perlindungan indikasi geografis memang hal yang baru di Indonesia.

Andy memaparkan, dua negara yang telah menerapkan hal ini pada komoditi khas daerahnya adalah Prancis dan Thailand. Makanya, "Minuman wine atau champagne kini tidak boleh digunakan oleh negara lain," ujarnya seraya memberi contoh mengenai komoditas khas Perancis itu. Karena itu, jangan heran kalau sekarang awak kabin pesawat asing, macam Qantas Airlines hanya ditawarkan sparkling wine," jelasnya.

Meski terbilang baru, menurut Andy, upaya untuk memberikan peningkatan ekonomi bagi para petani yang ada di Indonesia tetap penting. "Dengan adanya indikasi geografis, petani akan diuntungkan karena negara lain yang memproduksi dan memasarkan suatu produk dari wilayah di Indonesia minimal harus meminta izin dan membeli bahannya dari wilayan tersebut." ujarnya.

Sebagai negara beriklim tropis yang memiliki banyak sumber daya alam yang khas, menurut Andy, Indonesia memang memiliki banyak produk khas yang berpoteni mendapatkan perlindungan indikasi geografis. Produk-produk itu misalnya dodol Garut, markisa Medan, kopi Gayo, kopi Toraja, salak Pondoh, dan pempek Palembang. "Karena memiliki banyak produk yang berpotensi itulah, maka perlindungan indikasi geografis akan produk terkait menjadi penting," ujarnya.

Selain kopi arabika Kintamani Bali, menurut Staf Khusus Irjen Perkebunan Departemen Pertanian Riyaldi, sudah ada 5 produk dari Jepara yang telah siap mendapat sertifikasi indikasi geografis. Kelima produk itu adalah susu kambing Kali Jesing, ukiran Jepara, kerupuk tenggiri, kacang Open, serta blenyek ngemplak Jepara (sejenis ikan laut yang dikeringkan). "Sampai saat ini, kelima produk tersebut tinggal mendapat sertifikasi karena survei sudah kami lakukan dan permohonan juga sudah disampaikan kepada kami dan Dirjen HKI," jelas Riyaldi.

Selasa, Desember 16, 2008

Krakatau Steel versus KS

Sumber: Majalah Trust, 8-14 Desember 2008

Merek "KS" masuk ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Di meja hijau, PT Krakatau Steel (Persero) dan PT Tobu Indonesia sama-sama mengklaim sebagai pemilik merek "KS" untuk produk baja tulangan.

Bisnis baja memang sedang lesu. Tapi, itu tidak menghilangkan semangat PT Krakatau Steel (KS) bertarung di meja hijau. Sejak Oktober silam perusahaan pelat merah itu menggiring PT Tobu Indonesia ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. KS meradang lantaran Tobu menggunakan merek yang memiliki kemiripan dengan milik KS. Gugatan itu didaftarkan ke pengadilan akhir Oktober lalu.

Perselisihan kedua produsen besi baja itu, menurut salah satu kuasa hukum KS, Ali Imron dari kantor hukum Pacific Patent Indonesia, berawal ketika Tobu Indonesia mendaftarkan merek dagang "KS-TI" pada 25 Juli 2002, tanpa persetujuan dari kliennya. Merek itu didaftarkan dalam Daftar Umum Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) Departemen Hukum dan HAM, dengan maksud untuk melindungi jenis barang yang termasuk dalam kelas barang 06, yakni baja tulangan beton.

Mengetahui pendaftaran tersebut, sontak KS keberatan. Menurut Ali, karena merek "KS-TI" milik Tobu Indonesia dinilai mempunyai persamaan pada pokoknya untuk barang yang sejenis dengan milik kliennya yang telah terdaftar lebih dahulu. Persamaan itu dianggap akan menimbulkan persaingan curang, mengecoh dan menyesatkan konsumen. "Masyarakat akan beranggapan merek "KS-TI" berasal dari Krakatau Steel. Tobu Indonesia dinilai beritikad tidak baik dengan mendaftarkan merek "KS-TI", katanya.

Padahal, perusahaan pelat merah itu memilih nama dagang "KS" karena itu adalah singkatan nama perusahaan penggugat. Hal itu bertujuan agar konsumen dapat membedakan hasil produksi penggugat dengan hasil produksi lain. Karena itu, dalam gugatannya KS menuding Tobu Indonesia telah melanggar ketentuan Pasal 4 Undang-undang No.15 Tahun 2001 tentang Merek. Dalam pasal itu disebutkan merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan oleh pemilik yang beritikad tidak baik.

Dengan kata lain, Tobu Indonesia mendompleng ketenaran merek KS. Badan usaha milik negara itu memilih merek "KS Pole" dan "KS" atas barang yang diproduksinya. Sementara Tobu menggunakan nama "KS-TI" sebagai merek dagang untuk barang sejenis dengan merek "KS".

Dan merek "KS Pole" lebih dahulu didaftar KS ke Ditjen HKI, yaitu sejak 1 Agustus 1997. Setelah terdaftar dalam kelas 06, yakni tiang telepon bentuk taper segi delapan (baja tahan korosi cuaca), pendaftaran perpanjangan diajukan pada 13 Juni 2007. Selain itu, merek "KS" terdaftar untuk barang baja tulangan (reinforcing steel bar), ulir (deform), polos (plain), dan baja profil (steel section).

Agar merek "KS" dikenal masyarakat, menurut Ali, kliennya telah melakukan promosi besar-besaran, baik melalui media cetak dan elektronik. Artinya, untuk memenuhi syarat dikenal masyarakat luas seperti yang diatur dalam Pasal 6 (1) UU No.15 Tahun 2001 itu, KS telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.

Tudingan pihak KS dibantah keras oleh kuasa hukum Tobu Indonesia, Jony Situanda. Ia bersikeras merek penggugat bukan merek terkenal. Sebab, menurutnya, salah satu syarat merek terkenal adalah terdaftar di berbagai negara. "Tapi, nyatanya tidak semua orang tahu bahwa "KS" adalah Krakatau Steel," ujar Jony.

Selain itu, lanjut Jony, merek "KS-TI" terdaftar pada 2002, sementara "KS" baru terdaftar pada 2006. Selain itu, Tobu Indonesia sendiri sudah memproduksi baja tulang beton sejak tahun 1973. Bahkan, anak perusahaan KS, PT Krakatau Industrial Estate Cilegon dan Purna Sentana Baja, pernah memiliki saham di Tobu Indonesia. namun, tahun 2002 saham kedua perusahaan itu dijual kepada Andy Hartawan Sardjito, Direktur Utama Tobu Indonesia.

Terhadap permohonan pembatalan merek, seperti yang tertuang dalam gugatan KS, Jony menyatakan, permohonan pembtalan itu sudah kadaluarsa. Alasannya, penggugat baru memintakan pembatalan setelah tergugat mengantongi sertifikat merek selama lima tahun sembilan bulan. "Sertifikat yang lebih dari lima tahun tidak bisa dibatalkan," cetusnya.

Senin, Desember 15, 2008

Tak ada niat mendompleng merek Hoka Hoka Bento

www.bisnis.com, 15 Desember 2008

JAKARTA: Pengusaha yang digugat oleh PT Eka Bogainti terkait dengan penggunaan merek dagang Otobento, berkukuh tidak mendompleng, meniru, ataupun membonceng keterkenalan merek dagang milik perusahaan tersebut.

Hal tersebut tertuang dalam materi kesimpulan yang diajukan seorang pengusaha bernama Tony, yang diserahkan pada persidangan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pekan lalu.

Sebelumnya, PT Eka Bogainti, perusahaan yang terkenal dengan restoran cepat saji menggunakan merek Hoka Hoka Bento, mengajukan gugatan pembatalan merek Otobento terhadap salah satu pengusaha melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Dalam gugatan yang terdaftar di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada 16 Oktober 2008, Eka Bogainti menuding pengusaha bernama Tony, telah melakukan pendaftaran merek dengan iktikad tidak baik.

Penggugat menilai tergugat telah mendompleng, meniru, dan membonceng keterkenalan merek dagang miliknya.

Selain merek dagang Hoka Hoka Bento, Eka Bogainti mengklaim sebagai pemilik dan pendaftar pertama atas merek dagang Obento, yang terdaftar di Direktorat Merek Dephukham, dengan tanggal pengajuan pendaftaran pada 19 Juli 2002.

Lebih lanjut, Tony melalui salah satu kuasa hukumnya, Uus Mulyaharja, mengklaim bahwa pihaknya memperoleh hak atas merek Otobento dan Lukisan Kepala Koki setelah menempuh pemeriksaan substantif pada Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum.

Setelah dilakukan pemeriksaan, menurut pihak Tony, ternyata tidak ditemukan merek pihak lain yang memiliki persamaan dengan merek-merek Otobento dan Lukisan Kepala Koki, sehingga secara yuridis permohonan tersebut memasuki tahap publikasi dalam Berita Resmi Merek.

Dalam jangka publikasi, lanjutnya, pihak Eka Bogainti pernah mengajukan keberatan (oposisi) pada 19 Oktober 2004, tetapi Direktorat Merek menolak oposisi itu karena dinilai tidak beralasan hukum, sehingga merek milik Tony dapat terdaftar.

Lagipula, menurutnya, kata Bento dinilai tidak dapat dimonopoli oleh penggugat. Pasalnya, tergugat menganggap kata itu adalah kata yang umum (generic name), yang dalam bahasa Jepang berarti bekal makan siang.

Sementara itu, salah satu kuasa penggugat, Ali Imron, menyebutkan tergugat beriktikad tidak baik, karena mendaftarkan merek Otobento dengan cara mendompleng, meniru, dan membonceng merek pihaknya yang telah terdaftar lebih dahulu. Oleh Elvani Harifaningsih, Bisnis Indonesia.

Microsoft fasilitasi perusahaan dapatkan piagam HaKI

www.bisnis.com, 15 Desember 2008

BANDUNG: Microsoft Indonesia memfasilitasi puluhan klien korporasi dalam pembuatan piagam Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) guna menekan angka pembajakan peranti lunak (software) di Indonesia.

Anti S. Suryaman, License Compliance Manager Microsoft Indonesia, mengungkapkan pihaknya memberi apresiasi kepada klien yang menggunakan peranti lunak asli Microsoft dalam pengurusan piagam HaKI.

Dia menjelaskan klien memperoleh separuh bea registrasi piagam yang dibayarkan kepada Business Software Alliance (BSA) sebagai bentuk apresiasi, sementara sisanya ditanggung sendiri perusahaan.

"Ada sekitar 40 perusahaan yang sudah kami fasilitasi. Memang sebenarnya mereka mampu bayar sendiri, tapi ini bentuk apresiasi Microsoft kepada penggunanya," katanya kepada Bisnis di Bandung, kemarin.

Piagam HaKI adalah dokumen sertifikasi yang menunjukkan sebuah perusahaan telah diaudit oleh Business Software Alliance (BSA), sehingga sertifikat bisa menjadi justifikasi dalam pengurusan masalah hukum.

Tak akan dirazia

Mereka yang sudah mengantongi piagam itu diklaim BSA tak akan terkena razia oleh aparat hukum. Meskipun demikian, pemilik piagam tetap harus menjalani audit ulang setiap 6 bulan atau setahun sekali.

Biaya registrasi sendiri akan bergantung pada jumlah komputer dan perlengkapan yang dimiliki. Namun sebagai gambaran, Sheraton Hotel Bandung yang memiliki 60 komputer harus membayar US$60.

Anti mengungkapkan berdasarkan data yang dimiliknya, perusahaan yang sudah terdaftar dalam perolehan piagam berjumlah sekitar 200 klien, tetapi yang sudah mengantongi piagam tersebut baru sekitar 40 perusahaan.

"Kami sudah beri akses pembiayaan ini di Surabaya, Medan, dan Bandung. Ke depan, akan kami lakukan di kota lainnya di Indonesia, bahkan tak menutup kemungkinan kepada pengguna individual atau komunitas."

Dia menjelaskan selain fasilitasi HaKI, pihaknya tengah gencar melakukan edukasi peranti lunak dengan memberikan secara cuma-cuma cakram Software Asset Management (SAM).

Melalui peranti yang bisa mengidentifikasi keaslian peranti, katanya, Microsoft berharap perusahaan akan tergu- gah kesadarannya sehingga tingkat pembajakan pada tahun ini bisa terus menurun.

Berdasarkan data IDC Global PC Software Piracy, Indonesia masih merupakan negara dengan pembajakan terbesar di samping Bangladesh (92%), China (82%), Pakistan (84%), Sri Lanka (90%), dan Vietnam (95%). Oleh Muhammad Sufyan (Bisnis Indonesia)

Jumat, Desember 05, 2008

Mattel Inc. menang soal hak cipta

www.bisnis.com, 5 Desember 2008

NEW YORK: Mattel Inc, produsen mainan terbesar dunia, memenangi perkara di pengadilan, di mana kompetitor MGA Entertainment Inc diperintahkan untuk tidak memproduksi dan menjual lagi boneka Bratz yang dituding melanggar hak cipta Mattel.

Pada pembacaan putusan di Pengadilan California, kemarin, majelis hakim Stephen Larson, mengabulkan tuntutan Mattel yang menginginkan agar MGA berhenti memproduksi boneka multietnik produksinya.

Boneka Bratz produksi MGA pertama kali dipasarkan pada 2001. Produk ini diklaim telah mengakibatkan terjadinya penurunan penjualan produk Barbie milik Mattel. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menyebutkan perancang yang bekerja di Mattel keluar dan pindah ke MGA.

Desainer itu, menurut majelis hakim, telah mengambil ide yang dimiliki Mattel dan memberikannya pada MGA, sehingga terciptalah produk boneka bernama Bratz. (Bloomberg/elh)