Kamis, Agustus 28, 2008

MGA dihukum US$100 juta

Bisnis Indonesia 28 Agustus 2008

LOS ANGELES: MGA Entertainment Inc dihukum membayar ganti rugi US$100 juta pada Mattel Inc, produsen mainan terbesar dunia, terkait dengan gugatan pelanggaran hak paten dan pelanggaran kontrak yang dilayangkan perusahaan itu terhadap MGA.

Sebelumnya, Mattel menuding MGA melanggar hak paten dan pelanggaran kontrak, karena produk boneka merek Bratz milik MGA diproduksi dengan membajak mantan karyawan Mattel, yang merupakan desainer mainan itu.

Dalam gugatannya, Mattel meminta pengadilan untuk menghukum MGA membayar ganti rugi yang nilainya mencapai US$1 miliar. Akan tetapi, majelis hakim hanya mengabulkan US$100 juta. Majelis hakim pengadilan federal Riverside, California, menyebutkan boneka Bratz milik MGA yang mulai dipasarkan pada 2001, memiliki kesamaan dengan desain boneka Barbie, yang dirancang mantan karyawan Mattel tersebut. (Bloomberg/elh)

Kantor Paten Terima 3 Permohonan Untuk Diteruskan ke WIPO

Oleh Suwantin Oemar, Bisnis Indonesia 28 Agustus 2008

JAKARTA: Direktorat Paten selama tahun ini (sampai Agustus) diketahui menerima tiga permohonan paten dari inventor (penemu) dalam negeri untuk diteruskan ke Biro Internasional WIPO di Jenewa, Swiss guna mencari perlindungan hukum atas temuan mereka di luar negeri.
Elizar Darmanto, Kasi administrasi dan pelayanan teknis Direktorat Paten Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, mengemukakan bahwa permohonan itu diajukan oleh inventor perorangan dan perusahaan. "Permohonan itu diajukan melalui konsultan HaKI," katanya kepada Bisnis kemarin.

Dia menjelaskan bahwa pihaknya sebagai receiving office hanya menerima permohonan untuk diteruskan ke Biro Internasional World Intellectual Property Organization (WIPO), sedangkan pemeriksaan dilakukan di Jenewa.

Menurut data WIPO, pada tahun lalu tercatat sebanyak sembilan pemilik paten asal Indonesia mengajukan permohonan melalui Patent Cooperation Treaty (PCT) di Jenewa, Swiss. WIPO telah merancang satu sistem global untuk memfasilitasi anggotanya mendapatkan perlindungan paten di banyak negara melalui PCT. Indonesia meratifikasi PCT pada tahun 1997 melalui keputusan presiden, sehingga inventor dari Indonesia bisa mencari paten internasional di banyak negara melalui WIPO.

Elizar mengemukakan bahwa Direktorat Paten memungut biaya administrasi Rp500.000, sedangkan besar biaya perlindungan bergantung pada setiap negara yang dituju. "Saya tidak tahu berapa persisnya biaya yang dikeluarkan untuk proses sampai terbitnya sertifikat paten. Semua itu ada hitung-hitungannya yang ditetapkan oleh WIPO,"ujarnya.

Sementara itu Sumardi Partoredjo, Direktur Paten Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, mengatakan bahwa mencari perlindungan paten secara internasional melalui PCT lebih praktis dan biayanya relatif lebih murah bila dibandingkan inventor datang sendiri ke negara asing-masing. "Inventor bebas memilih untuk mencari perlindungan patennya di luar negeri apakah melalui PCT atau langsung ke tiap-tiap negara yang diinginkan," katanya kepada Bisnis. Jika pemohon menginginkan perlindungan patennya hanya di satu negara, misalnya Jepang, pemohon bisa saja langsung ke negara itu. Artinya, perlindungan atas patennya hanya di Jepang.

Dia memberi contoh seorang mahasiswa S3 Indonesia yang belajar di Jepang, kemudian menemukan hal yang baru di bidang teknologi, maka dia bisa saja langsung mendaftarkannya di Jepang, tak mesti ke Indonesia. Konsekuensinya, jelas Sumardi, bila tidak didaftarkan di Indonesia, maka patennya itu tidak dilindungi di dalam negeri, perlindungan hanya ada di Jepang.

Melihat potensi

Menurut dia, permohonan paten ke luar negeri tersebut bergantung kepada inventor itu sendiri. "Bila inventor itu melihat potensi patennya ada di Jepang atau Eropa, dia mendaftarkannya di negara itu,"ujarnya. Dia mengakui permohonan paten dari dalam negeri untuk mencari perlindungan hukum ke luar negeri masih sedikit."Temuan dari dalam negeri kebanyakan paten sederhana, mungkin mereka melihat belum perlu didaftarkan di luar negeri,"ujarnya.

Sebelumnya Sudarmanto, Ketua Asosiasi pengelola kekayaan intelektual (Aspeki) menilai kecilnya jumlah permohonan paten asal Indonesia melalui PCT karena ketidaktahuan orang Indonesia terhadap fasilitas itu. "Sosialisasi fasilitas PCT kepada orang Indonesia masih kurang, sehingga para inventor belum mengetahui langkah-langkah dan bagaimana caranya mendaftarkan paten melalui PCT," ujarnya.

Rabu, Agustus 27, 2008

9 Paten RI Pilih PCT Untuk Pendaftaran di Luar Negeri

JAKARTA: Sebanyak sembilan pemilik paten asal Indonesia diketahui mengajukan permohonan melalui Patent Cooperation Treaty (PCT) di Jenewa, Swiss pada tahun lalu. Menurut data World Intellectual Property Organization (WIPO), jumlah permohonan itu naik bila dibandingkan permohonan tahun lalu sebanyak delapan paten. WIPO tidak merinci siapa saja pemohon paten asal Indonesia itu dan temuannya di bidang apa saja. Bila dibandingkan dengan negara anggota Asean, Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Malaysia, Singapura, dan Filipina di bidang paten.

Sudarmanto, Ketua Asosiasi pengelola kekayaan intelektual (Aspeki), tidak mengetahui secara pasti paten Indonesia yang terdaftar di luar negeri. Namun, dia memperkirakan banyak paten hasil temuan orang Indonesia terdaftar di luar negeri. "Inventor bebas memilih cara untuk mendaftarkan paten di luar negeri apakah melalui fasilitas PCT di Jenewa atau langsung ke negara yang dituju,"ujarnya. Selama ini, menurutnya, inventor dari Indonesia biasanya mengajukan permohonan langsung ke negara yang dituju, sehingga patennya tidak tercatat melalui PCT. Dia memberi contoh ada inventor dari Indonesia menemukan teknologi di bidang elektronika. "Setelah mereka menemukan teknologi itu, mereka ditarik oleh perusahaan telekomunikasi Singapura dan paten temun orang Indonesia itu didaftarkan di Singapura,"ujarnya. Bila inventor itu menginginkan perlindungan paten hanya di Amerika Serikat saja, katanya, dia bisa langsung mengajukan permohonan ke negara itu. Tapi, bila inventor ingin mendapatkan perlindungan patennya di banyak negara, jelasnya, pilihannya adalah melalui fasilitas PCT.

"Mencari perlindungan paten internasional di banyak negara melalui fasilitas PCT lebih mudah dan efisien bila dibandingkan dengan mengajukan permohonan ke setiap negara," ujar Sudarmanto.

Kurang sosialisasi Menurut dia, kecilnya jumlah permohonan paten asal Indonesia melalui PCT karena ketidaktahuan orang Indonesia terhadap fasilitas itu. "Sosialisasi fasilitas PCT kepada orang Indonesia masih kurang, sehingga para inventor belum mengetahui langkah-langkah dan bagaimana caranya mendaftarkan paten melalui PCT," ujarnya. Sudarmanto menyarankan kepada pemerintah supaya aktif melakukan sosialisasi soal keberadaan fasilitas PCT itu kepada para inventor di dalam negeri, temasuk kepada litbang perguruan tinggi dan litbang departemen. Sementara, Ansori Sinungan, Direktur kerja sama Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, mengatakan pihaknya sering melakukan sosialisasi PCT dalam bentuk seminar dan lokakarya. "Kalaupun paten asal Indonesia menggunakan fasilitas PCT masih kecil, hal itu adalah wajar. Jangankan mencari perlindungan paten ke luar negeri, untuk di dalam negeri saja relatif sedikit," ujarnya. (suwantin.oemar@bisnis.co.id) Oleh Suwantin Oemar Bisnis Indonesia 25 Agustus 2008

Pembatalan Merek Waroeng Pojok ditolak

Oleh Elvani Harifaningsih dan S. HadysusantoBisnis Indonesia, 26 Agustus 2008

JAKARTA: Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan pembatalan merek Waroeng Pojok yang diajukan oleh PT Puri Intirasa terhadap Rusmin Soepadhi dengan alasan Waroeng Pojok bukan merek terkenal.

Menurut Andriani Nurdin, ketua majelis hakim dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Niaga Jakpus kemarin, merek Waroeng Pojok bukanlah sebagai suatu merek terkenal. Pasalnya, ujarnya, kata 'Warung Pojok' sudah lama dikenal di masyarakat, sebelum penggugat mendirikan gerainya pada 1998. "Penggugat tidak bisa membuktikan dalil gugatannya, sehingga gugatannya ditolak."

Sebelumnya, Puri Intirasa, pemilik gerai Waroeng Pojok, melayangkan gugatan pembatalan merek Waroeng Pojok melalui Pengadilan Niaga Jakpus terhadap Rusmin Soepadhi, yang merupakan pemilik gerai Warung Pojok dan Warung Pojok Kopi. Dalam gugatannya, Puri Intirasa menuding Rusmin telah beriktikad tidak baik dengan mendaftarkan merek Warung Pojok dan Warung Pojok Kopi di Direktorat Merek Depkumham, yang merupakan merek terkenal milik Puri Intirasa. Selain itu, majelis menyebutkan Puri Intirasa tidak mempunyai kapasitas mengajukan gugatan, mengingat merek miliknya tidak terdaftar di Direktorat Merek Depkumham.

Majelis hakim juga menolak gugatan balik (rekonpensi) yang diajukan Rusmin terhadap Puri Intirasa. Dalam rekonpensi, Rusmin meminta majelis hakim untuk memerintahkan Puri Intirasa menghentikan pemakaian merek Waroeng Pojok dan membayar ganti rugi Rp1 miliar. Ajukan kasasi Salah satu kuasa hukum Puri Intirasa, Bambang Pram Said, menyebutkan pihaknya kemungkinan akan mengajukan upaya hukum kasasi atas putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakpus tersebut. Salah satu kuasa hukum tergugat, Heri Herjandono, menyambut positif putusan majelis hakim tersebut, kendati gugatan balik (rekonpensi) pihaknya tidak dikabulkan.

"Mereka [penggugat] tidak bisa katakan itu sebagai milik mereka karena tidak terdaftar. Jadi, untuk syarat sebagai merek terkenal harus terdaftar di empat atau lima negara, ini di Indonesia saja tidak terdaftar. Mereka memang melakukan promosi, tapi promosi itu kan bisa dilakukan siapa saja, bisa diciptakan," tuturnya.

Permasalahan antara kedua pihak berawal ketika Rusmin selaku pemegang merek dagang Warung Pojok dan Warung Pojok Kopi memuat iklan peringatan di media cetak kepada Puri Intirasa, pihak yang mengklaim diri sebagai pemilik awal merek yang bersangkutan. Rusmin telah mendaftarkan merek Warung Pojok dan Warung Pojok Kopi di Direktorat Hak Kekayaan Intelektual Depkumham, No. 519618 tertanggal 29 Oktober 2002 dan No. 529310 tertanggal 11 Februari 2003. Pemasangan iklan ini dipicu adanya beberapa gerai Waroeng Pojok milik Puri Intirasa, yang berlokasi di kawasan Plaza Semanggi, Plaza Senayan, Pacific Place, dan Pondok Indah Mall. Akan tetapi, pihak Puri Intirasa juga mengklaim dirinya sebagai pemilik awal merek dagang itu, sehingga mereka melayangkan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakpus dan menuding Rusmin telah beriktikad tidak baik dengan menggunakan merek Warung Pojok tanpa seizinnya.

Dalam gugatan disebutkan Puri Intirasa telah membuka restoran Waroeng Pojok sejak 1998. Sejalan berkembangnya usaha, pada 1999 Pemda DKI Jakarta-Dinas Pendapatan Daerah-menerbitkan Surat Setoran Pajak dengan Nomor Pokok Pajak Daerah 4330101100090. Sebagai wajib pajak, penggugat mendapat surat keputusan dari Kepala Dinas Pendapatan Daerah No.338 tahun 1999 tentang Pengukuhan, serta Nomor Pokok Pajak Daerah 43.3.02.03.10.00050. Akan tetapi ketika penggugat akan mengajukan pendaftaran merek Waroeng Pojok pada 25 Mei 2008, ternyata permohonan itu ditolak karena tergugat sudah terlebih dahulu mendaftarkan nama Warung Pojok dan Warung Pojok Kopi.