Jumat, Oktober 24, 2008

MA Tolak Kasasi SFP Kasus Desain Industri

Bisnis Indonesia, 23 September 2008 (S. Hadysusanto)

JAKARTA: Majelis hakim kasasi Mahkamah Agung MA pimpinan Paulus E Lotulung menolak permohonan kasasi PT Sumber Fortuna Paperindo atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta dalam perkara desain kotak makanan model flip n flap melawan boks makanan.

Dalam putusan kasasi itu dinyatakan produsen kotak makanan tersebut bersalah dan dihukum membayar biaya perkara Rp 5 juta.

Menurut majelis hakim kasasi menilai putusan Pengadilan Niaga Jakpus sudah benar menerapkan hukum dalam mengadili perseteruan desain kotak makanan yang diklaim sebagai milik PT Sumber Fortuna Paperindo SFP dan PT Converpak Indonesia CI. "Pemeriksaan pada tingkat kasasi hanya terkait dengan kesalahan penerapan dan pelanggaran hukum, serta kelalaian dalam memenuhi syarat yang ditentukan peraturan. Adapun, putusan pengadilan niaga dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum, atau undang-undang," urai Paulus dalam putusannya.

Meski pemohon kasasi telah mendaftarkan desain produk kotak makanan ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, kata majelis, tapi bukan berarti hal itu membatasi hak hukum pihak lain yang telah mendaftarkan produk sejenis ke lembaga tersebut.

Pada persidangan sebelumnya, Pengadilan Niaga Jakarta memutuskan desain box makanan yang terdaftar di DepkumHAM No.ID 0010381D tanggal 6 November 2006 atas nama PT SFP tidak mempunyai kebaruan, atau bukan merupakan desain industri yang baru. Pendaftaran itu dinilai sebagai upaya iktikad tidak baik, karena hasil desain box makanan merupakan jiplakan atau peniruan dari kotak makanan model flip n flap produksi PT CI yang lebih awal terdaftar ke DepkumHAM, pada 2 Juni 2004.

PT SFP menilai pertimbangan hukum putusan pengadilan niaga atas kasus itu tidak cermat dan kurang patut sehingga tak memenuhi rasa keadilan, kemudian produsen kotak makanan itu mengajukan kasasi. Pada memori kasasi itu dikatakan pertimbangan hukum pengadilan niaga yang menyebutkan kalau kotak makanan produksi PT SFP merupakan hasil jiplakan dari kotak makanan model flip n flap adalah keliru dan kurang teliti. Sebab, produk itu merupakan hasil desain dari pembuat mesin cetak tempat makanan, yakni Win Shine Machinery Co Ltd. Hanya modelnya saja yang berbeda.

Sementara itu, kuasa hukum PT CI, Iman Sjahputra, mengatakan produk kotak makanan milik PT SFP bukan desain baru, melainkan merupakan jiplakan dari desain kotak makanan model flip n flap yang sudah terdaftar dan banyak dipakai di Indonesia dan Australia. "Klien kami mengajukan pembatalan pendaftaran desain industri kotak makanan, karena iktikadnya tidak baik"

Gugatan Dua Perusahaan Asing Ditolak Pengadilan

Bisnis Indonesia, 16 Oktober 2008 (S. Hadysusanto)

JAKARTA: Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menolak gugatan dua perusahaan asing Macroserve Pte Ltd Singapura dan CC Pollen Co AS terhadap Susinto Widianto terkait merek dagang High Desert dan logo HD.

Amar putusan yang dibacakan majelis hakim pimpinan Reno Listowo baru-baru ini menyatakan gugatan tersebut kurang pihak karena tidak melibatkan PT High Desert Indonesia selaku pemegang hak merek dagang tersebut sejak 17 September 2007.

Majelis menyimpulkan, dari fakta hukum yang terungkap di persidangan secara formil merek dagang High Desert dan logo HD di bawah nomor serifikat IDM000123926 telah beralih kepemilikannya dari Susinto Widianto kepada PT High Desert Indonesia. Dengan begitu, kata majelis, sejak 17 September 2007 kepemilikan merek dagang High Desert dan logo HD yang semula atas nama Susinto Widianto selaku tergugat telah beralih kepada PT High Desert Indonesia.

"Berdasarkan bukti-bukti yang diajukan ke persidangan, serta akta hibah No.28 tertanggal 12 September 2007 telah terjadi pengalihan kepemilikan hak atas merek tersebut kepada PT High Desert Indonesia," kata majelis hakim dalam putusannya. Perubahan kepemilikan merek dagang itu, masih kata majelis, telah diberitahukan secara resmi oleh tergugat kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Depkumham pada 17 September 2007, dan disetujui dengan terbitnya sertifikat pencatatan pengalihan hak.

"Konsekuensi hukum gugatan para penggugat CC Pollen Co dan Macroserver PTE Ltd terhadap Susinto Widianto tidak tepat dan salah karena kurang pihak, di mana seharusnya PT High Desert Indonesia dilibatkan sebagai tergugat," papar majelis hakim di persidangan.

Dalam putusan itu majelis juga menyatakan tidak relevan untuk dipertimbangkan keberatan para penggugat terhadap keabsahan akta hibah No 28 tertanggal 12 September 2007 dan keabsahan pendirian PT High Desert Indonesia.

Sebagai pihak yang kalah dalam kasus tersebut, para penggugat diharuskan membayar biaya perkara sebesar Rp. 2,813 juta.

Tidak baik

Sebelumnya, gugatan yang diajukan melalui kuasa dari Kantor Hukum Abdullah Loetfi & Co menyatakan bahwa perbuatan tergugat mendaftarkan merek dagang itu merupakan iktikad tidak baik karena dilakukan tanpa izin.

"Merek dagang para penggugat telah didaftarkan oleh tergugat pada 20 Juni 2007 dengan No. IDM000123926 untuk jenis produk food supplement, yang termasuk dalam kelas barang 05," kata Abdullah Loetfi & CO dalam gugatannya.

Padahal, lanjutnya, merek dagang itu adalah merek terkenal di dunia dan telah didaftarkan pertama kali di Amerika Serikat pada 29 September 1981 oleh CC Pollen CO selaku pemilik awal.

Untuk kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, CC Pollen CO memberi kewenangan pandaftaran merek dagangnya kepada Macroserve PtE Ltd.

Namun, tanpa sepengetahuan para penggugat, ternyata tergugat telah mendaftarkan merek High Desert dan logo HD di Direktorat Merk Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM.

Polisi Tangkap Pemalsu Merek No.1 Cap THG

Antara, 16 Oktober 2008

KUDUS: Polres Kudus, Jawa Tengah berhasil menangkap pemalsu kecap bermerek terkenal di pasaran lokal Kabupaten Kudus dan sekitarnya.

"Penangkapan berdasarkan aduan dari pemilik merek yang sah kepada petugas pada 13 Oktober 2008," kata Kapolres Kudus AKBP Budi Siswanto melalui Kasatreskrim AKP Dony Setyawan, di Kudus, kemarin.

Berdasarkan sertifikat hak atas kekayaan intelektual Nomor 328809,16 Juni 2003, kecap bermerek No.1 Cap THG adalah milik Sukinah. Mengingat pemilik sesuai yang tertera di sertifikat sudah lanjut usia, usaha tersebut dilanjutkan oleh cucunya bernama Roy Wibowo. "Atas laporan Roy, pelapor kasus pemalsuan merek tersebut, petugas segera menindaklanjutinya," katanya.

Hasilnya, tambahnya, petugas berhasil menangkap Suhadi pelaku pemalsu merk kecap THG tersebut yang berasal dari Desa Loram Wetan, Kecamatan Jati, Kudus. Barang bukti yang berhasil disita petugas berupa 24 botol kecap palsu yang dikemas dalam botol bermerek THG, sejumlah segel plastik berwarna merah, tutup botol, dua buah alat sablon, dan sebuah alat pemasang tutup botol.

Pelaku pemalsu kecap tersebut, menurut polisi, Suhadi mengaku sudah memasarkan 200 botol kecap palsu tersebut di Pasar Pecangaan, Jepara dan sekitarnya. "Setiap satu botol kecap saya jual di pasaran sebesar Rp 6600, lebih mahal Rp 350 dari aslinya," katanya. Keuntungan yang dia peroleh dari memalsukan merek tersebut berkisar Rp. 200.000. Pemalsu berkilah, pemalsuan merek kecap tersebut dilakukan tanpa kesengajaan.

Saat dia menarik botol bekas kecap kosong bermerek Udang Jaya miliknya dari sejumlah pedagang di Pasar Bitingan dan Pecangaan, pihaknya mendapatkan pula botol kecap bermerek THG. "Saya mencoba mengisi botol-botol bermerek THG dengan kecap buatan saya dan ternyata laku keras," katanya. Setelah itu, pelaku memberanikan diri memperbanyak pemalsuan kecap merek THG dengan mencari tutup botol asli dari sejumlah pedagang, sedangkan segel dan merek kecap THG dipesan dari tukang sablon.

Atas perbuatan memalsukan merek tersebut, pelaku dijerat Pasal 90 UU Nomor 15 tahun 2001 Tentang Merek dengan ancaman pidana paling lama lima tahun dan atau denda hingga Rp.1 miliar.

Pengadilan Kabulkan Gugatan Sucaco Dalam Kasus Merek Supreme

Bisnis Indonesia, Elvani Harifaningsih, 20 Oktober 2008

JAKARTA: Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan gugatan pembatalan merek dagang Supreme dan logonya yang dilayangkan PT Supreme Cable Manufacturing Corporation Tbk PT Sucaco Tbk terhadap salah seorang pengusaha lokal.

Dalam pertimbangan hukumnya, ketua majelis hakim Makmun Masduki menyatakan Sudono terbukti tidak beriktikad baik dengan menggunakan merek yang sama dengan milik PT Sucaco.

Kendati kedua merek memiliki logo yang berbeda, katanya, merek itu terbukti memiliki persamaan pada pokoknya, yakni dalam penggunaan kata Supreme dengan susunan huruf dan pengucapan yang sama. Seharusnya, kata majelis hakim, pada sidang pembacaan putusan 17 Oktober, tergugat menggunakan kata dan merek lain untuk produknya. Pasalnya, pendomplengan merek dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen, karena pembeli akan mengira produk tersebut merupakan produksi dari perusahaan yang sama.

Sebelumnya, PT Sucaco menuding pengusaha lokal Sudono Riady Ko telah beritikad tidak baik dan mendompleng keterkenalan merek Supreme, dengan mendaftarkan merek dagang tersebut untuk produk kabel produksinya.

Tidak puas

Kuasa hukum Sudono, Agil Azizi, menyatakan tidak puas dengan pertimbangan hukum yang disampaikan majelis hakim dalam putusannya. Dia menegaskan pihaknya akan mengajukan upaya hukum kasasi dalam waktu dekat "Putusan majelis hakim tidak fair," katanya, saat dihubungi Bisnis, kemarin.

Majelis hakim, ujarnya, hanya mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat, tanpa mempertimbangkan bukti yang diajukan pihaknya. Selain itu, lanjutnya, majelis hakim tidak mempertimbangkan sertifikat merek milik pihaknya yang telah terdaftar sejak 2002 dan justru mengabulkan gugatan pembatalan merek yang diajukan penggugat yang menurut tergugat baru mendaftarkan merek itu pada 27 Maret 2007.

PT Sucaco, katanya, memang telah mendaftarkan merek dagang miliknya pada 1971 Namun, pada saat Sudono mendaftarkan merek tersebut pada 2002, masa berlaku sertifikat merek PT Sucaco telah berakhir dan perusahaan itu tidak memperpanjang pendaftarannya.

Berdasarkan UU, sambungnya, merek yang sudah tidak diperpanjang dapat didaftarkan oleh pihak lain, sehingga, tambahnya, dalam hal ini justru seharusnya pihaknyalah yang mendapatkan perlindungan merek, bukannya PT Sucaco.

Salah satu kuasa hukum penggugat, Adidharma Wicaksono, menyebutkan pihaknya cukup puas dengan putusan tersebut karena dirinya menilai majelis hakim cukup jernih melihat duduk perkara yang sebenarnya. Adidharma mengakui bahwa perpanjangan merek milik pihaknya memang sempat tertunda beberapa tahun. Akan tetapi, jelasnya, keterlambatan pendaftaran itu bukan terjadi akibat keteledoran, melainkan karena adanya musibah banjir sehingga banyak dokumen milik perusahaan itu hilang. "Apalagi, produksi kabel milik klien kami tetap ada, tetap berproduksi, perusahaan ini tetap eksis," ujarnya, saat dihubungi Bisnis, kemarin.

Persengketaan antara kedua pihak berawal saat PT Sucaco menilai Sudono telah beriktikad tidak baik dengan membonceng keterkenalan nama perusahaan itu di Indonesia, dengan mendaftarkan merek dagang Supreme milik PT Sucaco yang terdaftar pada 1971. Pasalnya, menurut penggugat, ternyata diketahui dalam daftar umum merek telah terdaftar merek dan logo Supreme serta huruf Kanji untuk barang kelas 09 atas nama tergugat, No523662 pada 25 November 2002.

Padahal, klaim penggugat, pihaknya telah menggunakan dan mendaftarkan merek dan logo Supreme di Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkumham sejak 6 Desember 1971.

Hitachi Digugat Soal Rahasia Dagang

Bisnis Indonesia, Suwantin Oemar, 21 Oktober 2008

JAKARTA: PT Basuki Pratama Engineering mengajukan gugatan ganti rugi melalui Pengadilan Negeri Bekasi terhadap PT Hitachi Constructuin Machinery Indonesia sekitar Rp127 miliar, karena diduga melanggar rahasia dagang.

Selain PT Hitachi Construction Machinery Indonesia HCMI, pihak lain yang dijadikan sebagai tergugat dalam kasus itu adalah Shuji Sohma, dalam kapasitas sebagai mantan Dirut PT HCMI. Tergugat lainnya adalah Gunawan Setiadi Martono tergugat III, Calvin Jonathan Barus tergugat IV, Faozan tergugat V,Yoshapat Widiastanto tergugat VI, Agus Riyanto tergugat VII, Aries Sasangka Adi tergugat VIII, Muhammad Syukri tergugat IX, dan Roland Pakpahan tergugat X.

Insan Budi Maulana, kuasa hukum PT Basuki Pratama Engineering BPE, mengatakan sidang lanjutan dijadwalkan pada 28 November dengan agenda penetapan hakim mediasi. Menurut Insan, gugatan itu dilakukan sehubungan dengan pelanggaran rahasia dagang penggunaan metode produksi dan atau metode penjualan mesin boiler secara tanpa hak.

PT BPE bergerak dalam bidang produksi mesin-mesin industri, dengan produksi awal mesin pengering kayu.

Penggugat, katanya, adalah pemilik dan pemegang hak atas rahasia dagang metode produksi dan metode penjualan mesin boiler di Indonesia "Metode proses produksi itu sifatnya rahasia perusahaan," katanya.

Dia menjelaskan bahwa tergugat IV sampai dengan tergugat X adalah bekas karyawan PT BPE, tetapi ternyata sejak para tergugat tidak bekerja lagi di perusahaan, mereka telah bekerja di perusahaan tergugat PT HCMI.

Tergugat, katanya, sekitar tiga sampai dengan lima tahun lalu mulai memproduksi mesin boiler dan menggunakan metode produksi dan metode penjualan milik penggugat yang selama ini menjadi rahasia dagang PT BPE.

PT BPE, menurutnya, sangat keberatan dengan tindakan tergugat I baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama memproduksi mesin boiler dengan menggunakan metode produksi dan metode penjualan mesin boiler penggugat secara tanpa izin dan tanpa hak

Bayar ganti rugi

"Para tergugat wajib membayar ganti rugi immateriil dan materiil sekitar Rp127 miliar atas pelanggaran rahasia dagang mesin boiler".

Sebelumnya, PT BPE juga menggugat PT HCMI melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam kasus pelanggaran desain industri mesin boiler. Gugatan PT BPE itu dikabulkan oleh majelis hakim Namun, PT HCMI diketahui mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.

Sementara itu, kuasa hukum PT HCMI, Otto Hasibuan, mengatakan pengajuan gugatan pelanggaran rahasia dagang oleh PT BPE terhadap mantan-mantan karyawannya dan PT HCMI pada prinsipnya sama dengan pengaduan ataupun gugatan BPE sebelumnya.

Gugatan itu, menurut Otto Hasibuan, dalam pernyataannya yang diterima Bisnis, dilandasi oleh tuduhan BPE terhadap mantan karyawannya bahwa mereka telah mencuri rahasia dagang berupa metode produksi dan metode penjualan mesin boiler.

Padahal, ujarnya, mantan karyawan BPE yang memilih untuk pindah kerja hanya bermaksud untuk mencari dan mendapatkan penghidupan yang layak dan ketenteraman dalam bekerja, dan sama sekali tidak melakukan pelanggaran rahasia dagang ataupun peraturan perusahaan BPE.

Bahkan, menurutnya, karyawan itu telah banyak memberikan kontribusi terhadap BPE dalam mendesain mesin boiler.

Dia menjelaskan konstitusi dan hukum Indonesia, khususnya UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi pekerja, termasuk hak untuk pindah kerja.

HCMI optimistis gugatan BPE tersebut tidak berdasar "HCMI percaya majelis hakim akan bersikap objektif, sehingga gugatan BPE tersebut akan ditolak," ujarnya

Mantan Pramugari Tuntut Sriwijaya Airlines Soal Hak Cipta

Bisnis Indonesia, Elvani Harifaningsih, 21 Oktober 2008

JAKARTA: PT Sriwijaya Airlines tengah menghadapi tuntutan hukum dari mantan pramugarinya, karena maskapai penerbangan swasta tersebut dituding enggan membayar royalti atas pemotretan untuk media promosi

Dalam gugatan yang dilayangkan mantan pramugari Sriwijaya, Ferorica, melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Sriwijaya dituntut membayar ganti rugi materiil Rp615 juta dan immateriil Rp2 miliar." Inti tuntutan kami, yaitu ganti rugi materiil dan immateriil Kami juga meminta agar tergugat mencabut fotofoto penggugat yang masih beredar," ujar Rachim A Tranggno, kuasa hukum penggugat, saat dihubungi Bisnis, kemarin.

Saat ini, persidangan kedua pihak telah bergulir di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Rabu pekan ini, persidangan dijadwalkan kembali berlangsung dengan agenda penyampaian duplik dari tergugat.

Hingga berita ini diturunkan Bisnis tidak berhasil mendapatkan komentar dari juru bicara Sriwijaya, Ricco Andika Dia mengaku tidak mengetahui mengenai duduk perkara masalah tersebut.

Rachim menyebutkan persengketaan kedua pihak berawal ketika Oktober 2006 Ferorica bersama dua rekannya melakukan sesi pemotretan, yang jika hasilnya dianggap bagus akan digunakan untuk kegiatan promosi maskapai penerbangan itu. Setelah pemotretan, dia mengaku tidak mendapatkan informasi dari pihak perusahaan apakah foto tersebut jadi digunakan untuk kegiatan promosi atau tidak. Ternyata, dia baru mengetahui fotofoto itu telah disebarluaskan untuk kepentingan promosi. Foto itu terpampang di tempat penjualan tiket dan biro perjalanan di hampir seluruh bandar udara di Indonesia Media promosi yang memajang foto Ferorica al standing banner, frequent flyer, time table, kalender, majalah penerbangan Sriwijaya Air Inflight Magazine, dan Majalah Inflight Shop.

Berselang dua bulan sejak pemotretan, pihak perusahaan memberikan surat yang intinya berisi pernyataan kesediaan Ferorica agar fotonya diterbitkan di seluruh materi promosi Sriwijaya Air, tanpa menuntut imbalan, honor, atau royalti atas pemuatan fotonya.



Kamis, Oktober 23, 2008

BSA Keluarkan 'Obat Penawar' Razia Nakal

Detikcom, Minggu, 10/08/2008 09:13 WIB
Ardhi Suryadhi - detikinet

Bandung - Razia software bajakan merupakan suatu momok bagi para perusahaan, meskipun perusahaan tersebut sudah menggunakan software legal. Namun kini, ada sertifikasi HKI yang dapat menjadi bukti bagi si perusahaan bahwa ia telah menggunakan software legal.

Program sertifikasi software komputer ini dikeluarkan oleh Business Software Alliance (BSA) dan bernama 'Piagam HKI' (Hak Kekayaan Intelektual). Tujuannya, khusus bagi pengguna akhir korporasi.

Donny A. Sheyoputra, perwakilan BSA Indonesia mengatakan, Piagam HKI ini adalah suatu program audit khusus software yang didukung oleh Kepolisian RI. Sehingga bisa menjadi bukti bahwa perusahaan yang memilikinya telah menggunakan software legal.

"Tujuan sertifikasi ini salah satunya adalah untuk memberikan rasa tenang bagi perusahaan dalam menjalankan usahanya karena ada support. Selain itu juga ada rasa aman dari para penegak hukum yang sewaktu-waktu dapat melakukan razia," ujarnya dalam konferensi pers di sela gathering BSA di Hotel G.H. Universal, Bandung, 9-10 Agustus 2008.

Terlebih, lanjut Donny, fungsinya juga bisa menghadang para polisi 'nakal' yang ingin melakukan razia. "Ketika mereka datang untuk mau razia, mereka sudah melihat piagam ini yang ada lambang Polri-nya, tentu akan memberi faktor psikologis tertentu," imbuhnya.

Pun demikian, baik BSA ataupun pihak kepolisian tak bisa menjamin jika setiap perusahaan yang telah terdaftar dalam sertifikasi ini telah 100 persen akan mempunyai kekebalan dari bentuk-bentuk upaya hukum yang dilakukan pihak yang berwenang.

Sebab menurut Kombespol Rycko Amelza Dahniel, Kanit I Indag, Dir. II Eksus Mabes Polri, bukan tidak mungkin ada 'keusilan' yang dilakukan dari para perusahaan yang telah memiliki piagam ini dengan menambahkan software 'bodong' setelah audit dilakukan.

Untuk itu, piagam ini hanya berlaku selama setahun dan dapat diperbaharui kembali dengan melakukan audit ulang. "Jadi bisa saja ada data yang tidak comply dengan yang ada di sertifikasi, tetapi piagam ini akan memudahkan pemeriksaan yang dilakukan kepolisian," tukas Rycko.

Cara dan Biaya

Untuk mendapatkan sertifikasi ini, perusahaan dapat mengisi formulir registrasi yang disediakan dan dikirimkan kepada konsultan hukum BSA, Soemadipradja & Taher. Selanjutnya audit akan dilakukan oleh tim software auditor yang ditunjuk BSA. "Audit ini khusus untuk penggunaan software yang dikeluarkan oleh anggota BSA, sedangkan pengawasan audit dilakukan oleh Soemadipradja & Taher," jelas Donny.

Biaya untuk ikut serta dalam program Piagam HKI tergantung dari jumlah komputer yang dimiliki perusahaan. Besarannya mulai dari US$ 50 untuk jumlah komputer dibawah 20 unit, hingga US$ 500 bagi perusahaan yang mempunyai komputer di atas 500 unit.

Pendaftaran dapat dilakukan melalui konsultan hukum BSA ataupun secara online di www.piagamhki.org.

Jumat, Oktober 17, 2008

AT&T Gugat Airbiquity Soal Paten

www.dgip.co.id, Kamis 25 September 2008

CALIFORNIA: AT&T Inc diketahui melayangkan gugatan terhadap Airbiquity Inc, karena perusahaan itu dituding melanggar paten peralatan navigasi personal yang terdaftar atas nama AT&T .

Dalam gugatan yang didaftarkan di Pengadilan Federal Dallas pada 17 September 2008, Airbiquity dituding telah melanggar paten produk AqLink, aqFramework, aqServer IP, aqNav, dan VIAaq. Teknologi tersebut memungkinkan komunikasi suara antara pengendara kendaraan bermotor dan unit navigasi, memberikan informasi peta instan bersamaan dengan informasi jalan dan rambu-rambu lalu lintas, dan memberikan alternatif rute terbaik.

Dalam perkara ini, AT&T diwakili oleh Bryant C Boren Jr, Christopher W Kennerly, Kevin E Caldwell, dan Travis William Thomas dari kantor hukum Baker Botts. (Source: Media cetak)

Memangkas Proses dan Prosedut Pendaftaran Merek

Writer: Suwantin Oemar,13 oktober 2008

Bila kelompok usaha kecil dan menengah UKM ditanya bagaimana komentar mereka terhadap proses dan prosedur pendaftaran merek, maka jawaban yang muncul adalah "prosesnya lama dan biaya besar"

"Di pikiran pengusaha kecil, pendaftaran merek sama dengan mendaftarkan izin usaha. Yang ada di dalam pikiran mereka adalah pendaftaran itu lama, biayanya pun besar," kata Sudarmanto, Ketua Asosiasi Pengelola Kekayaan Intelektual/Aspeki.

Sudarmanto tahu persis keluhan yang dialami oleh pengusaha kecil berkaitan dengan pendaftaran hak atas kekayaan intelektual karena dia sering membantu UKM mendaftarkan hak atas kekayaan intelektual, seperti merek, hak cipta, desain industri, dan lain-lain. "Jika ada rencana pemerintah untuk memangkas proses dan prosedur pendaftaran merek, maka hal itu pantas didukung," ujarnya.

Keluhan yang sering dilontarkan UKM selama ini adalah soal biaya pendaftaran dan prosesnya lama, padahal tidak semuanya demikian. "Biaya pendaftaran HaKI akan terasa besar bila UKM menggunakan jasa konsultan Biaya resmi pendaftaran cuma Rp450000 ditambah biaya searching Rp125000," katanya.

Sudarmanto mengakui biaya pendaftaran merek melalui konsultan HaKI bisa lebih mahal, minimal bisa mencapai Rp 3 juta "Bila pemohon berasal dari luar Jawa, maka bisa lebih mahal dari itu," katanya.
Selama itu, katanya, bila melakukan searching merek, maka pemohon mengajukan permintaan ke Ditjen Hak Kekayaan Intelektual "Jika searching bisa melalui Internet, maka saya yakin akan menguntungkan pengusaha, terutama para UKM untuk mendaftarkan mereknya," ujarnya. Searching diperlukan untuk mengetahui apakah merek yang akan didaftarkan itu memiliki persamaan atau sama dengan merek orang lain yang sudah lebih dahulu terdaftar. Bila dalam searching itu ditemukan ada kesamaan dengan merek yang sudah terdaftar, maka pemohon bisa menarik dan membatalkan rencananya mendaftarkan merek yang sudah dipersiapkan.

Pangkas prosedur

Pemerintah diketahui akan memangkas prosedur dan proses pendaftaran merek dagang guna meningkatkan pelayanan kepada para pengusaha mendaftarkan merek. Penyederhanaan itu didasarkan atas pertimbangan bahwa pendaftaran merek terkesan rumit, lama dan berbelit-belit. Kesan seperti itu tampaknya akan dihilangkan, sehingga pemerintah membuat langkah maju dengan melakukan perbaikan guna mendorong pertumbuhan pendaftaran merek.

Rencana perbaikan dilakukan dengan mengamendemen terlebih dahulu Undang Undang Merek. Pemerintah kini masih membahas revisi UU Merek. Sesuai UU dengan Merek, waktu proses pendaftaran merek sampai terbit sertifikat dibutuhkan waktu 14 bulan 10 hari. Bahkan, dalam praktiknya jangka waktu itu lebih lama dari aturan yang sudah digariskan dalam UU. "Dengan adanya amendemen terhadap UU Merek, maka total waktu proses pendafaran merek itu nantinya dipangkas menjadi 11 bulan," kata Didik Taryadi, Kasubdit hukum pelayanan merek Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM pada satu acara belum lama ini.

Amendemen undang-undang itu, ujarnya, juga bertujuan melakukan penyederhanaan terhadap proses dan prosedur pendaftaran merek. Didik menjelaskan permohonan pendaftaran merek untuk mendapatkan filing date akan disederhanakan, cukup dengan mengisi formulir, melampirkan etiket/gambar merek dan membayar biaya. Selain itu, ujarnya, khusus permohonan pepanjangan pendaftaran merek juga disederhanakan "Pemilik merek diberi waktu enam bulan sebelum dan enam bulan sesudah merek itu habis masa berlakunya". Kelonggaran itu dimaksudkan memberikan keleluasaan bagi pemilik merek memperpanjang pendaftaran mereknya.

Masa berlaku perlindungan terhadap merek terdaftar berlangsung selama 10 tahun, kemudian bisa diperpanjang kembali untuk 10 tahun berikutnya dan begitu seterusnya. Penyederhanaan pendaftaran merek itu juga dikaitkan dengan rencana Indonesia bergabung dengan Protokol Madrid "UU Merek kita harus selaras dengan ketentuan Protokol Madrid," ujar Didik.

Untung rugi

Keikutsertaan Indonesia masuk Protokol Madrid ada untung dan ruginya Ruginya, peranan konsultan HaKI akan berkurang dan banyak merek asing akan terdaftar di dalam negeri. Keuntungan masuk Protokol Madrid, pengusaha tidak perlu lagi mendaftarkan mereknya ke setiap negara di luar negeri, cukup satu permohonan diajukan melalui Direktorat Merek, maka perlindungan hukumnya bisa berlaku untuk banyak negara. "Protokol Madrid ini mendorong merek lokal untuk ke pasar global"

Sementara itu, Aspeki mendukung upaya pemerintah menyederhanakan prosedur pendafaran merek dagang dan mengusulkan supaya searching penelusuran merek bisa dilakukan melalui Internet. Menurut Sudarmanto, pemerintah boleh saja cepat melakukan proses pendaftaran merek, tetapi dia mengingatkan harus tetap sesuai dengan ketentuan TRIP''s Trade related aspects of intellectual property. Dia mengakui bahwa proses dan prosedur pendaftaran merek di UKM sangat lama dan membutuhkan biaya besar "UKM juga beranggapan bahwa biaya pendaftaran merek itu sangat mahal, padahal tidak demikian Mahal itu relatif lah," ujarnya.

Rencana pemerintah melakukan penyederhanaan proses dan prosedur pendaftaran itu merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam membenahi sistem HaKI di dalam negeri.

Oleh Suwantin OemarWartawan Bisnis Indonesia

Pelantikan Pejabat Eselon II di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

Sumber: Ditjen HKI, Oktober 17, 2008

Pelantikan Pejabat Eselon II di lingkungan Departemen Hukum dan HAM berlangsung pada tanggal 9 September 2008 bertempat di Graha Pengayoman Departemen hukum dan HAM Jakarta.

Perubahan jabatan struktural Pejabat Eselon II Ditjen HKI: Sekretaris Ditjen HKI yang selama ini dijabat oleh Herdwiyatmi, SH diganti oleh pejabat baru Soemardi Partoredjo, SH.,MH. (sebelumnya menjabat Direktur Paten).Sedangkan Herdwiyatmi, SH diangkat menjadi Direktur Merek.

Ir Razilu yang sebelumnya menjabat Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Tengah diangkat menjadi Direktur Paten.

Drs. Mohammad Adri, SH (sebelumnya Kabag Penyusunan Program dan Laporan) mendapat promosi dan menjabat Kepala Divisi Administrasi Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sulawesi Tenggara.

PT Auto Performa digeledah soal dugaan pelanggaran paten

Bisnis Indonesia Harian, 17 Oktober 2008

JAKARTA: Tim gabungan penyidik Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM menggeledah show room mobil PT Auto Performa terkait dengan dugaan pelanggaran paten produk karet pelindung peredam kejut mobil.
Penggeledahan di Pertokoan Cordoba, Pantai Indah Kapuk dipimpin langsung oleh Kepala seksi
penyidikan dan litigasi paten Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Salmon Pardede pada Rabu sore. Tim berhasil menyita produk karet pelindung peredam kejut mobil yang diduga ilegal. Barang sitaan tersebut diamankan oleh tim penyidik yang dibantu oleh aparat dari Polda Metro Jaya untuk diproses secara hukum di pengadilan.

Menurut Salmon Pardede, desain dan komposisi produk yang diperdagangkan di seluruh Indonesia oleh Jimmy Bachtiar, selaku pemilik PT Auto Performa, serupa dengan hasil inovasi Hendry Yogiaman dan Andi Lesmana Sendjaja yang telah didaftarkan di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual sejak 8 Desember 2006. Penggeledahan itu, lanjutnya, dilakukan atas dasar adanya laporan dari para pihak pemilik paten desain industri produk karet pelindung peredam kejut mobil, bahwa di pasaran lokal banyak beredar secara ilegal hasil inovasinya.

"Sebelum kami melakukan penyitaan, terlebih dahulu meneliti produk yang diduga ilegal. Ternyata sama persis, baik komposisi maupun desain pada produk buatan para pelapor," ungkap Salmon kepada pers seusai penyitaan. Dia menjelaskan dugaan sementara Jimmy Bachtiar melanggar pasal 131 UU No.14/2001 tentang Paten, yakni membuat, menggunakan, menjual dan mengimpor tanpa izin suatu produk yang sudah didaftarkan di dalam negeri. "Jika terbukti melanggar, sanksi hukumannya 2 tahun penjara dan atau denda sebesar Rp250 juta," katanya.

Salmon mengingatkan bahwa ancaman pasal 131 UU Paten juga dapat menjerat agen dan penjual/pengecer produk yang dianggap melanggar hukum tersebut. "Selain produsen dan distributornya, agen ataupun penjualnya bisa dihukum dengan ancaman yang sama. Setelah tindakan ini, berikutnya kami akan menyita produk tersebut ke berbagai daerah," ungkapnya. Di dalam patitum laporan kejadian No. PPNS/LK-03/P/HKI/2008 tertanggal 12 September 2008 yang ditandanganinya disebutkan ada 10 lokasi sasaran penggeledahan dan penyitaan antara lain di Jakarta, Yogyakarta, Samarinda, Bandung, Riau, dan Surabaya.
"Meskipun hanya pedagang, mereka bisa dijadikan tersangka melanggar Pasal 131 UU Paten. Tekad kami, produk inovasi pelapor yang telah didaftarkan harus dilindungi UU," kata Salmon.

Karet pelindung peredam kejut kendaraan roda empat itu, menurutnya, telah didaftarkan Hendry Yogiaman maupun Andi Lesmana Sendjaja pada 8 Desember 2006. Produk itu ditetapkan sebagai predikat sertifikat paten sederhana pada 14 Desember 2007 oleh Direktur Paten Azmi Dahlan dengan nomor ID0000770S. "Sebelum kami mengeluarkan sertifikat itu, terlebih dahulu melakukan reservasi desain industri ke berbagai negara. Ternyata, baik komposisi dan desainnya murni inovasi mereka [Hendry dan Andi]," jelasnya.

Rugikan negara

Sementara itu, Haposan Hutagalung, kuasa hukum pelapor, mengatakan perbuatan tersebut bukan hanya merugikan kliennya saja, melainkan juga negara dari sektor pajak. "Anak bangsa yang menemukan inovasi desain industri tersebut. Kasihan dong mereka, susah payah berkreasi, lalu orang lain yang mengambil keuntungannya," kata Haposan. Kasus ini, lanjutnya, akan diproses secara hukum di pengadilan sebagai peringatan bagi pelaku lainnya, bahwa perbuatan itu melanggar hukum.

Jimmy Bachtiar, pemilik PT Auto Perform, menjelaskan bahwa dirinya tidak mengetahui produk tersebut sudah terdaftar di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. "Saya impor dari China dua bulan belakangan ini, dan tidak tahu ada produk sejenis buatan lokal yang sudah dipatenkan. Kalau tahu, ya saya tidak mungkin mengambilnya dari China," kata Jimmy kepada Bisnis seusai menandatangani berita acara penyitaan di kantornya.
Menurut dia, pihaknya bukan satu-satunya importir produk sejenis. "Ada beberapa perusahaan yang mengimpor dari Thailand, Taiwan, Korsel, dan China." (sinano@bisnis.co.id)
Oleh S. HadysusantoBisnis Indonesia