Jumat, September 26, 2008

Surat Kabar Belgia Gugat Komisi Eropa

www.bisnis.com, 26 September 2008

BRUSSELS: Pengadilan diminta memerintahkan Komisi Eropa untuk memindahkan link berita dari dua situs atau membayar denda 1 juta euro (US$1,5 juta) per hari jika tidak melaksanakan perintah tersebut.

Hal itu diungkapkan kelompok surat kabar Belgia dalam tuntutan yang disampaikan melalui pengadilan Brussels, terkait dengan perkara pelanggaran undang-undang hak cipta Belgia.
Surat kabar Belgia berbahasa Prancis tengah melayangkan gugatan terhadap eksekutif Uni Eropa, karena telah memposting link dan menampilkan artikel milik penggugat pada dua situs. Situs yang menawarkan layanan mirip Google News itu, menurut penggugat, telah melanggar undang-undang hak cipta Belgia.

Komisi Eropa, klaim penggugat, seharusnya mengetahui kalau tindakan tersebut ilegal dan komisi tersebut tidak dapat mengambil informasi yang bersangkutan tanpa persetujuan dari penggugat. (Bloomberg/elh)

Merek Sederhana yang Tak Sederhana

Trust, 1-7 September 2008

Dua pengusaha warung makan asala Minang berebut nama dagang "Sederhana". Anehnya, masing-masing mengaku memiliki sertifikat dari Dirjen HaKI.

Pengelola rumah makan Sederhana Bintaro belakangan ini tengah berharap-harap cemas. Kecemasan ini bukan disebabkan oleh melambungnya berbagai harga bahan makanan. Kamis pekan ini, majelis hakim akan menjatuhkan putusan yang diajukan Bustaman, Tak tanggung-tanggung, laki-laki pemilik restauran "Sederhana" itu menuntut ganti rugi Rp. 5 Miliar plus larangan menggunakan kata "Sederhana" sebagai nama dagang.

Benar,tuntutan yang diajukan oleh Bustaman melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat itu terkait dengan perebutan merek "Sederhana". Dia beralasan bahwa nama dagang itu telah didaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual sejak tahun 1997. Tiba-tiba, muncul merek serupa yang digunakan oleh pengelola rumah masakan Padang asal Bintaro, Jakarta.

Menurut Bustaman, bukan hanya tulisan, huruf, dan warna merek saja yang sama, namun bentuk bangunan rumah makan pesaingnya itu juga mirip dengan miliknya. Apalagi, rumah makan Sederhana Bintaro belakangan gerainya terus bertambah banyak.

Sebenarnya kedua pihak bukannya tak mencoba mencari penyelesaian secara damai. Namun, upaya itu tidak pernah membuahkan hasil. Buntutnya, sengketa itu pun bergulir ke meja hijau. "Tergugat telah melanggar hak eksklusif pemilik merekyang dilindungi undang-undang," demikian Bustaman dalam gugatannya.

Senjata yang diusung Bustaman adalah Pasal 3 Undang-undang tentang Merek (UU No. 15 Tahun 2001). Di sana dikatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Tentu saja tudingan itu dibantah oleh pengelola rumah makan Sederhana Bintaro. Melalui kuasa hukumnya, Adi Warman, pelaku usaha bersikukuh bahwa dirinya berhak untuk menggunakan merek yang disengketakan itu. Alasannya, dia juga sudah mengantongi sertifikat yang dikeluarkan oleh Dirjen HaKI pada 13 Maret 2003.

Karena itu, menurut Adi Warman, mestinya tidak ada yang harus dipermasalahkan dalam kasus ini. Apalagi, saksi dari Dirjen HaKI yang dihadirkan dalam persidangan mengatakan bahwa merek yang dimiliki oleh dua pelaku usaha itu berbeda.

Jika menengok ke belakang, dua orang pemilik rumah makan itu sebenarnya pernah bekerja sama. Mereka sama-sama berjuang membesarkan warung masakan Padang. Namun, pada tahun 2001 keduanya tak lagi seiring sejalan. Bustaman mengembangkan usahanya hingga memiliki 70 buah gerai, yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar (40 gerai) terletak di daerha Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pengelola Sederhana Bintaro pun melakukan hal yang sama.

Terlepas dari itu, sengketa perebutan merek warung yang menjual masakan padang bukan kali ini saja terjadi. Tiga tahun silam Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga pernah mengadili perkara pembatalan merek rumah makan Sari Bundo. Ketika itu, Azwari Rivai dan Rahimi Sutan, pemilik rumah makan padang di jalan Ir. H. Juanda, jakarta Pusat, menggugat mantan pegawainya, Anwar Sutan Rajo Nan Sati yang diam-diam mendaftarkan merek Sari Bundo atas nama dirinya.

Ujung-ujungnya, Anwar Sutan Rajo Nan Sati dinyatakan tak berhak untuk memiliki merek Sari Bundo. Sertifikat merek atas nama Anwar yang tercatat di Dirjen HaKI pun akhirnya dicoret. Akankah pengelola rumah makan Sederhana Bintaro akan menerima nasib serupa?

Hari Puttar memenangi gugatan lawan Harry Potter

www.bisnis.com, 26 September 2008

MUMBAI: Menyingkirlah Harry Potter. Beri jalan untuk Hari Puttar. Hari Puttar direncanakan tayang di bioskop di India mulai pekan ini, setelah pengadilan negara itu menolak gugatan Warner Bros yang menyatakan nama yang digunakan terlalu mirip dengan serial Harry Potter.
Keputusan pengadilan India kemarin menyatakan orang yang telah menonton film Harry Potter dan membaca bukunya, tentu tahu perbedaan antara tokoh penyihir cilik dengan film Punjabi India Hari Puttar-sebuah komedi tentang teror.

Sang produser, Mirchi Movies, mengatakan film Puttar tidak ada kemiripan dengan penyihir laki-laki tersebut. Hari adalah nama umum di India dan dalam bahasa Hindi berarti Tuhan, sementara 'puttar' adalah anak laki-laki Punjabi. "Tentu saja senang bisa memenangkan kasus ini. Kami berharap kasus ini tidak mengganggu pemasaran peluncuran film," kata Munish Purii, kepala eksekutif Mirchi mengatakan kepada the Associated Press, Selasa.

Juru bicara Warner Bros De-borah Lincoln menyatakan sedang meninjau ulang keputusan tersebut. "Kami membawa hasil laporan ini karena percaya kalau judul dan pemasaran film ter- gugat melanggar hak intelektual kami," ujar Lincoln melalui e-mail. Lincoln juga menambahkan kalau produser film Hari Puttar ingin membingungkan konsumen dan mengambil untung dari brand Harry Potter yang sudah terkenal dan dicintai banyak orang.

Hari Puttar bukanlah cerita tentang sulap, tapi kisah mengenai anak laki-laki India dan sepupunya yang terlupakan di rumah di Inggris ketika keluarganya pindah. Plot film ini lebih mirip dengan film Home Alone. Dalam film, Hari Puttar, 10, harus menjaga chip computer ayahnya yang merupakan seorang ilmuwan dari para pencuri kikuk, sementara orang tuanya pergi.

Purii mengatakan Hari Puttar akan diluncurkan di seluruh India pada Jumat dan secara global bulan depan. (m01)

Sabtu, September 13, 2008

Dituding Jiplak Motif Perak, Perajin Bali Dituntut 2 Tahun Penjara

Gede Suardana - detikNews, www.detik.com, 12 September 2008

Denpasar - Demo seratusan perajin perak Bali ke DPRD Bali karena keresahan yang melanda setelah rekan mereka digugat ke pengadilan. Perajin yang dimejahijaukan itu adalah Ketut Deny Aryasa. Oleh Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Deny dituntut 2 tahun dan denda Rp 5 juta subsider enam bulan kurungan.

Jaksa menuduhnya menjiplak motif yang telah dipatenkan PT Karya Tangan Indah (KTI) milik John Hardy, pengusaha asal AS.Menurut adik Deny, Pande Nyoman Sudiartana, abangnya saat ini menjalani tahanan rumah terkait kasus itu. Sebelumnya Deny juga sempat ditahan di Lapas Kerobokan, Denpasar, selama 40 hari."Motif yang dituduh dijiplak adalah motif Kali dan motif Fleur (dari bahasa Prancis yang artinya bunga)," kata Sandy, panggilan Sudiartana, di sela-sela aksi demo 100-an perajin perak Bali di depan gedung DPRD Bali, Denpasar, Jumat (12/9/2008).

Menurut laporan PT KTI, motif Fleur diciptakan oleh Guy Rainier Gabriel Bedarida. Pemegang hak ciptanya adalah PT Karya Tangan Indah milik John Hardy."Motif Bunga (Fleur) adalah motif Bali. Bagaimana mungkin penciptanya adalah orang Prancis, nama motif Prancis, tapi karyanya adalah motif Bali. Kami perajinBali tidak pernah mematenkan karya orang Bali. Tapi mengapa mereka yang mematenkan?" gugatnya.Dia mempertanyakan, mengapa motif Fleur bisa menjadi hak cipta orang asing yang disahkan oleh pemerintah Indonesia yaitu Direktorat Hak Cipta Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang Ditjen HAKI Depkum tanggal 19 April 2006.(nrl/gah) -->

John Hardy Tak Pernah Klaim Motif Tradisional Bali

Nurul Hidayati - detikNews, www.detik.com, 12 September 2008

Jakarta - PT Karya Tangan Indah (KTI), produsen perhiasan handmade berkelas untuk John Hardy Group menyangkal mengklaim motif perak Bali. Tuduhan itu dianggap menyesatkan.

Dalam keterangan tertulisnya pada detikcom, KTI menyatakan, tuduhan klaim itu dilontarkan dalam kaitan proses pidana yang tengah berjalan dengan terdakwa Deny Aryasa, mantan karyawan PT KTI. Deny menghadapi proses pidana atas dugaan pelanggaran hak cipta atas desain hak milik Joh Hardy Group."Desain yang dipermasalahkan bukan berasal dari motif-motif tradisional milik masyarakat Bali, namun merupakan desain milik John Hardy Group yang unik dan dilindungi hak ciptanya oleh pemerintah melalui Dirjen Haki.

PT KTI dan John Hardy Group tidak pernah mengakui kepemilikan terhadap motif tradisional Bali," ujar PT KTI, Jumat (12/9/2008).Dijelaskan pula, PT KTI telah menjalankan usahanya selama 20 tahun dan secara langsung atau tidak langsung telah menciptakan langan kerja bagi 1.500 orang di Bali."Kami prihatin dengan adanya membelokkan masalah ini di luar konteks yang ada," demikian PT KTI.(nrl/gah) -->

Dituduh Jiplak Motif Perak Bali, Deny Aryasa: Kok Copyright Saya Tidak Diakui di Indonesia?

Gede Suardana - detikNews, www.detik.com, 12 September 2008

Jakarta - Dua tahun penjara mengancam Deny Aryasa, perajin perak Bali. Perusahaan milik John Hardy, pengusaha besar asal AS, menuduhnya menjiplak motif perak yang telah dipatenkan. Karena kasus ini, Deny pernah mendekam di tahanan Lapas Kerobokan selama 40 hari.

Saat ini kasusnya telah bergulir di pengadilan dan dia dikenai tahanan rumah. Jaksa telah menuntutnya hukuman penjara 2 tahun kurungan.Berikut petikan wawancara detikcom dengan Deny Aryasa lewat telepon, Jumat (11/9/2008):

Bagaimana ceritanya Anda bisa dipenjara?
Saya dipenjara dengan alasan John Hardy punya sertifikat resmi berupa batik perak yang diberi nama Fleur atau Flower, dalam bahasa Indonesia artinya bunga, yang diciptakan oleh Guy Rainier, warga negara Prancis. Apa masuk akal motif Bali yang sangat keras sekali, ada kuping guling, ukel-ukelan dan lain-lain itu buatan Prancis? Itu adalah suatu komposisi yang ada di pura-pura dan arsitektur Bali. Kalau bicara tentang motif Bali ya pakemnya memang begitu-begitu saja. Dan John Hardy sudah mengakui motif saya sebagai motif dia.Bagaimana tanggapan Anda? Saya heran dengan kasus saya. Dia (John Hardy) hanya punya motif 2 dimensi berupa gambar, melawan barang saya yang 3 dimensi. Kok dia yang dimenangkan? Kata teman-teman saya di luar negeri, saya telah memecahkan rekor kasus copyright teraneh di planet ini. Pelanggaran copyright seharusnya produknya persis. Ini dia dua dimensi saya tiga dimensi.

Apakah Anda pernah mematenkan produk Anda?
Saya sudah punya copyright untuk produk saya di Amerika sejak tahun 2005. Dia baru tahun 2006. Kok copyright saya yang diakui di Amerika tidak diakui di Indonesia? Masa sih nggak bangga dengan hasil karya anak bangsa sendiri yang telah membawa nama Indonesia ke luar negeri?

Kenapa tidak dipatenkan di Indonesia?
Karena saya tidak dilaporin (ke pengadilan) di Indonesia. Orang Indonesia sukanya emas, bukan perak. Saya tidak berpikir orang Indonesia mau melaporkan saya.

Apakah kasus serupa pernah menimpa orang lain?
Pernah. John Hardy menggunakan hak patennya untuk memojokkan lawan-lawan bisnisnya di Amerika. Misalnya Kaphy Kamay. Dia pernah digugat oleh John Hardy di pengadilan AS pada 2005 karena menggunakan dot motive. Padahal dot motive itu nama lain dari motif jawan keplak di Bali. Contoh lain banyak sekali. Coba Anda cari di google saja.(gds/nrl) -->

Rabu, September 10, 2008

Pengadilan Tak Konsisten Kasus Lontar

Bisnis Indonesia, 26 Agustus 2008

JAKARTA: Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinilai tidak konsisten dalam menilai kepentingan umum, terkait dengan penerbitan buku Antalogi Drama Indonesia yang dilakukan oleh Yayasan Lontar.

Hal itu diungkapkan salah satu kuasa hukum Adila, Bimo Prasetio, terkait dengan putusan PN Jakpus yang memvonis bersalah mantan Executive Director Yayasan Lontar, Adila Suwarmo Soepeno, karena telah melakukan pelanggaran UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta.

Bimo mengatakan dalam persidangan perkara tindak pidana pelanggaran hak cipta tersebut, telah terungkap bahwa penerbitan buku Antalogi Drama Indonesia adalah untuk keperluan pendidikan dan penelitian dunia seni dan sastra Indonesia.

Kendati demikian, praktisi hukum dari kantor Adnan Buyung Nasution & Partners ini mengungkapkan pihaknya menghormati putusan majelis hakim dan masih mempertimbangkan upaya hukum yang ada.

Pekan lalu, dalam sidang pembacaan putusan yang dibacakan ketua majelis hakim Heru Pramono, Adila divonis bersalah dan dijatuhi hukuman enam bulan penjara, dengan masa percobaan selama delapan bulan.

Prosedur Pendaftaran Merek Akan Dipangkas

Bisnis Indonesia Harian, 10 September 2008 oleh Suwantin Oemar

JAKARTA: Pemerintah akan memangkas prosedur dan proses pendaftaran merek dagang guna meningkatkan pelayanan kepada para pengusaha mendaftarkan merek.

Didik Taryadi, Kasubdit Pelayanan Hukum Direktorat Merk Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM, mengemukakan selama ini terkesan pendaftaran merek rumit, lama, dan berbelit-belit. "Pemerintah akan menyederhanakan proses dan prosedur pendaftaran merek, sehingga prosesnya bisa lebih cepat,"kata Didik, pada acara Ramadhan Gathering, yang diselenggarakan oleh Masyarakat Indonesia Anti Pemalsuan (MIAP) di Jakarta kemarin.

Dia mengatakan bahwa sesuai dengan undang undang yang berlaku sekarang total waktu proses pendaftaran merek selama 14 bulan 10 hari, tapi kenyataannya dalam praktek juag bisa lebih dari ketentuan itu. "Dengan adanya amendemen terhadap UU Merek, maka total waktu proses pendafaran merek itu nantinya dipangkas menjadi 11 bulan,"katanya.

Pemerintah, ujarnya, saat ini melakukan amendemen terhadap UU Merek (UU No.15/2001) karena masih ada yang belum sesuai dengan ketentuan konvensi internasional. Amendemen undang undang itu, ujarnya, juga bertujuan melakukan penyederhanaan terhadap proses dan prosedur pendaftaran merek. "Draf amendemen UU itu sedang disusun,"katanya. Didik menjelaskan bahwa permohonan pendaftaran merek untuk mendapatkan filling date akan disederhanakan, cukup dengan mengisi formulir, melampirkan etiket/gambar merek dan membayar biaya. Selain itu, ujarnya, khusus permohonan pepanjangan pendafaaran merek juga disederhanakan. "Pemilik merek diberi waktu enam bulan sebelum dan enam bulan sesudah merek itu habis masa berlakunya."

MIAP menduga bahwa akhir-akhir ini modus pelanggaran merek telah bergerak memasuki tingkat canggih. "Modus pelanggaran ini cenderung lebih banyak dilakukan oleh kalangan pengusaha yang cukup kredibel dan bukan dari golongan pengusaha kelas rumahan atau UKM," kata Widyaretna Buenastuti, Ketua MIAP. (suwantin.oemar@bisnis.co.id)

Selasa, September 02, 2008

PT Sucaco Gugat Merek SUPREME Milik Sudono Riady

Bisnis.com, 2 September 2008

JAKARTA: PT Supreme Cable Manufacturing Corporation Tbk (PT Sucaco Tbk) diketahui melayangkan gugatan pemba-talan merek dagang dan logo Supreme yang terdaftar atas nama seorang pengusaha lokal.

Dalam gugatan yang dilayangkan melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, PT Sucaco menuding pengusaha lokal Sudono Riady Ko telah beritikad tidak baik dan mendompleng keterkenalan nama Su- preme, dengan mendaftarkan merek dagang tersebut untuk produk kabel produksinya. "Merek Supreme milik tergugat sama pada pokoknya dengan milik penggugat. Sehingga, hal itu akan membingungkan masyarakat, apalagi dari segi harga bedanya juga tidak terlalu berbeda jauh," ujar Adidharma Wicaksono, salah satu kuasa hukum penggugat, kemarin.
Padahal, klaimnya, pihaknya telah menggunakan dan mendaftarkan merek dan logo Supreme di Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkumham sejak 6 Desember 1971, untuk produk-produk yang termasuk dalam kelas 09.
Barang yang termasuk dalam kelas 09 a.l. kabel listrik tegangan rendah, kabel listrik tegangan tinggi, kabel dasar laut, kabel listrik untuk bandar udara, kawat dinamo, dan kabel serat optik.
Selain itu, klaim penggugat, pihaknya telah mendaftarkan kembali merek dagang dan logo Supreme untuk barang kelas 09 dan 17 a.l. kabel listrik, kabel telepon, kabel dinamo/trafo, dan lembaran melanin. Pendaftaran, dilakukan 27 Agustus 1983.
Penggugat juga mengklaim telah mendaftarkan kembali merek dan logo Supreme untuk barang sejenis kabel aluminium untuk listrik dan telepon, kabel dinamo, dan trafo, pada 22 Maret 1990.
Salah satu kuasa hukum tergugat, Agil Azizi, tidak berkomentar banyak mengenai gugatan pembatalan merek itu. Akan tetapi, dia menyebutkan tidak ada dasar hukum bagi penggugat untuk mengajukan gugatan pembatalan merek dagang dan logo Supreme. "Tidak ada dasar hukum untuk dibatalkan karena sertifikat kita sudah didaftarkan di Direktorat Merek Ditjen HKI Depkumham pada 25 November 2002," ucapnya, seusai sidang yang digelar di Pengadilan Niaga Jakpus, kemarin.

Persengketaan antara kedua pihak berawal saat PT Sucaco menilai Sudono telah beriktikad tidak baik dengan membonceng keterkenalan nama perusahaan itu di Indonesia, dengan mendaftarkan merek dagang Supreme milik PT Sucaco yang terdaftar sejak 1971. Pasalnya, menurut penggugat, ternyata diketahui dalam Daftar Umum Merek telah terdaftar merek dan logo Supreme serta huruf Kanji untuk barang kelas 09 atas nama tergugat, No.523662 pada 25 November 2002.

Mengingat penggugat melihat adanya persamaan pada pokoknya pada merek dagang tersebut dan karena pihaknya mengklaim sebagai pemilik pertama merek itu, penggugat akhirnya mengajukan pembatalan merek melalui Pengadilan Niaga Jakpus. (ELH)
Oleh Elvani HarifaningsihBisnis Indonesia

The Garden Menang Dalam Perkara Merek Pop-Pan

Bisnis.com, 2 September 2008

JAKARTA: Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan gugatan The Garden Company Limited terhadap PT Serena Indopangan Industri, terkait dengan perkara penghapusan pendaftaran merek makanan Pop-Pan.

Dalam sidang pembacaan putusan, pekan lalu, majelis hakim memerintahkan penghapusan merek dagang Pop-Pan milik PT Serena Indopangan yang telah terdaftar di Direktorat Merek Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkumham, sejak 23 Maret 1993. Pihak The Garden Company, kata majelis hakim, dapat membuktikan dalil gugatannya, yang menyebutkan bahwa merek dagang Pop-Pan milik PT Serena Indopangan tidak beredar atau diperdagangkan di wilayah hukum Indonesia.

Berdasarkan ketentuan UU Merek (UU No.15/2001), merek yang dilindungi adalah merek yang digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa di Indonesia. PT Serena Indopangan tidak berhasil membuktikan dalil bantahannya sebelumnya yang menyebutkan produknya itu khusus dipasarkan untuk keperluan ekspor.

Salah satu kuasa hukum PT Serena Indopa-ngan, Febriana, menyebutkan pihaknya belum dapat memastikan apakah akan mengajukan upaya hukum kasasi atau tidak atas putusan Pengadilan Niaga Jakpus tersebut. "Saya belum dapat pastikan, karena belum dapat sinyal dari klien [Serena Indopangan]. Nanti kita akan tinjau dulu setelah dapat salinan putusan dan kita pelajari pertimbangan hukumnya bagaimana," katanya, saat dihubungi Bisnis, kemarin.

Sementara itu, salah satu kuasa hukum The Garden Company, Ali Imron, menyebutkan pihaknya menyambut positif putusan tersebut, mengingat semua dalil gugatan pihaknya dika-bulkan oleh majelis hakim. Sebelumnya, The Garden Company mengajukan gugatan penghapusan merek makanan Pop-Pan milik PT Serena Indopangan. Pasalnya, The Garden Company mengklaim pihaknya sebagai perusahaan pengolah dan pemasar berbagai jenis makanan dengan merek dagang Pop-Pan, yang terdaftar di beberapa negara.

Persengketaan berawal ketika The Garden Company ingin mendaftarkan merek dagangnya di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkumham pada 2007. Namun, merek Pop-Pan ternyata sudah lebih dahulu tercatat atas nama PT Se-rena Indopangan, sejak Maret 1993. Bahkan, perusahaan itu juga sudah melakukan perpan- jangan merek pada Februari 2003. Upaya The Garden Company untuk mendaftarkan mereknya di Indonesia tidak berhenti sampai di situ. The Garden memakai jasa satu perusahaan untuk meneliti keberadaan perdagangan barang merek Pop-Pan milik PT Serena Indopangan.

Hasil survei

Berdasarkan hasil survei, ternyata tidak ditemukan produk Pop-Pan milik PT Serena Indopangan yang dipasarkan di wilayah hukum Republik Indonesia. Selain survei, The Garden Company juga mendatangi BPOM. Akan tetapi, klaim pihak The Garden, ternyata merek dagang milik PT Serena Indopangan tidak terdaftar di BPOM, yang dinyatakan dalam surat Direktur Penilaian Keamanan Pangan BPOM.

Di lain pihak, dalam persidangan PT Serena Indopangan menyangkal tudingan The Garden Company yang menyebutkan perusahaan itu tidak pernah menggunakan merek makanan Pop-Pan atau tidak menggunakannya selama tiga tahun berturut-turut sejak tanggal pemakaian terakhir. Dalam persidangan di hadapan majelis hakim, pihak PT Serena Indopangan berkukuh bahwa tidak benar jika pihaknya tidak pernah menggunakan merek Pop-Pan No. Daftar 530179 tanggal 21 Februari 2003 (perpanjangan dari No. Daftar 290438 tanggal 23 Maret 1993) atau tidak menggunakannya selama tiga tahun berturut-turut.

Perusahaan itu juga menegaskan produk Pop-Pan masih diproduksi dan diperdagangkan khusus untuk keperluan ekspor, sehingga pihaknya beranggapan bahwa tidak perlu izin dari BPOM.

(elvani@bisnis.co.id)
Oleh Elvani Harifaningsih Bisnis Indonesia

Senin, September 01, 2008

Digugat Harry Potter, Hari Puttar Tak Gentar

Kompas.com, 1 September 2008

BOLLYWOOD, SENIN - Gugatan yang dilayangkan pihak Warner Bros terhadap film produksi Bollywood yang dituding telah melakukan plagiat, tak membuat rumah produksi yang bermarkas di India, Mirchi Movies gentar. Ia bersikukuh bahwa film berjudul Hari Puttar - A Comedy of Terrors tak menyalahi aturan hak cipta dari the Harry Potter.

Toh, menurut pihak Mirchi Movies, film yang mengisahkan petualangan seorang bocah India berusia 10 tahun itu, tak punya kesamaan karakter dengan tokoh rekaan J.K Rowling dalam bukunya itu. "Film kami tak memiliki kemiripan dengan film Hollywood Harry Potter dan ini benar-benar cerita yang sangat berbeda. Tak ada hubungannya antara Harry Potter dan Hari Puttar," kata Munish Purii salah satu produser Mirchi Movies.

Namun lain halnya dengan pihak Warner Bros. Pihak mereka justru menyakini betul bahwa film Hari Puttar memiliki kesamaan dari karakter judul. Karenanya, mereka melayangkan gugatan kepada pihak pengadilan tinggi Bombay untuk menghadang film Harri Puttar agar tak diputar di sejumlah bioskop di luar negeri, awal September ini. "Bagaimana pun Warner Bros. sangat menghargai hal-hal yang terkait dengan masalah hak intelektual," kata juru bicara Warner Bros, Deborah Lincoln.

Hari Puttar, yang diperankan Zain Khan, berkisah tentang seorang anak muda yang ditinggalkan sendirian di rumah oleh orang tuanya yang tengah berlibur. Ia kemudian berusaha melumpuhkan sekelompok kawanan perampok yang mencoba melakukan pencurian di rumahnya. Ketimbang mirip Harry Potter, tulis seorang pengamat film, justru mirip film Home Alone, yang dibintangi Macaulay Culkin. (imdb/EH)