Jumat, September 26, 2008

Merek Sederhana yang Tak Sederhana

Trust, 1-7 September 2008

Dua pengusaha warung makan asala Minang berebut nama dagang "Sederhana". Anehnya, masing-masing mengaku memiliki sertifikat dari Dirjen HaKI.

Pengelola rumah makan Sederhana Bintaro belakangan ini tengah berharap-harap cemas. Kecemasan ini bukan disebabkan oleh melambungnya berbagai harga bahan makanan. Kamis pekan ini, majelis hakim akan menjatuhkan putusan yang diajukan Bustaman, Tak tanggung-tanggung, laki-laki pemilik restauran "Sederhana" itu menuntut ganti rugi Rp. 5 Miliar plus larangan menggunakan kata "Sederhana" sebagai nama dagang.

Benar,tuntutan yang diajukan oleh Bustaman melalui Pengadilan Niaga Jakarta Pusat itu terkait dengan perebutan merek "Sederhana". Dia beralasan bahwa nama dagang itu telah didaftarkannya ke Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual sejak tahun 1997. Tiba-tiba, muncul merek serupa yang digunakan oleh pengelola rumah masakan Padang asal Bintaro, Jakarta.

Menurut Bustaman, bukan hanya tulisan, huruf, dan warna merek saja yang sama, namun bentuk bangunan rumah makan pesaingnya itu juga mirip dengan miliknya. Apalagi, rumah makan Sederhana Bintaro belakangan gerainya terus bertambah banyak.

Sebenarnya kedua pihak bukannya tak mencoba mencari penyelesaian secara damai. Namun, upaya itu tidak pernah membuahkan hasil. Buntutnya, sengketa itu pun bergulir ke meja hijau. "Tergugat telah melanggar hak eksklusif pemilik merekyang dilindungi undang-undang," demikian Bustaman dalam gugatannya.

Senjata yang diusung Bustaman adalah Pasal 3 Undang-undang tentang Merek (UU No. 15 Tahun 2001). Di sana dikatakan bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Tentu saja tudingan itu dibantah oleh pengelola rumah makan Sederhana Bintaro. Melalui kuasa hukumnya, Adi Warman, pelaku usaha bersikukuh bahwa dirinya berhak untuk menggunakan merek yang disengketakan itu. Alasannya, dia juga sudah mengantongi sertifikat yang dikeluarkan oleh Dirjen HaKI pada 13 Maret 2003.

Karena itu, menurut Adi Warman, mestinya tidak ada yang harus dipermasalahkan dalam kasus ini. Apalagi, saksi dari Dirjen HaKI yang dihadirkan dalam persidangan mengatakan bahwa merek yang dimiliki oleh dua pelaku usaha itu berbeda.

Jika menengok ke belakang, dua orang pemilik rumah makan itu sebenarnya pernah bekerja sama. Mereka sama-sama berjuang membesarkan warung masakan Padang. Namun, pada tahun 2001 keduanya tak lagi seiring sejalan. Bustaman mengembangkan usahanya hingga memiliki 70 buah gerai, yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar (40 gerai) terletak di daerha Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Pengelola Sederhana Bintaro pun melakukan hal yang sama.

Terlepas dari itu, sengketa perebutan merek warung yang menjual masakan padang bukan kali ini saja terjadi. Tiga tahun silam Pengadilan Niaga Jakarta Pusat juga pernah mengadili perkara pembatalan merek rumah makan Sari Bundo. Ketika itu, Azwari Rivai dan Rahimi Sutan, pemilik rumah makan padang di jalan Ir. H. Juanda, jakarta Pusat, menggugat mantan pegawainya, Anwar Sutan Rajo Nan Sati yang diam-diam mendaftarkan merek Sari Bundo atas nama dirinya.

Ujung-ujungnya, Anwar Sutan Rajo Nan Sati dinyatakan tak berhak untuk memiliki merek Sari Bundo. Sertifikat merek atas nama Anwar yang tercatat di Dirjen HaKI pun akhirnya dicoret. Akankah pengelola rumah makan Sederhana Bintaro akan menerima nasib serupa?

Tidak ada komentar: