Majalah Trust, 8-14 Desember 2008
Untuk pertama kalinya Ditjen HKI menerbitkan sertifikat indikasi geografis Indonesia. Sertifikat itu diberikan kepada Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) kopi arabika Kintamani Bali.
Masyarakat yang memiliki produk hasil yang khas berindikasi geografis (geographical indication), kini bisa mendaftarkan keunikan itu kepada Direktorat Jenderal (Ditjen) Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM. Terhadap produk indikasi geografis tersebut, Kamis pekan silam, untuk pertama kalinya Ditjen HKI mengeluarkan sertifikat indikasi geografis terhadap kopi arabika Kintamani Bali.
Sertifikat tersebut diberikan kepada masyarakat Kecamatan Kintamani, Bangli, Pupuan, Kabupaten Badung, dan beberapa kecamatan di Kabupaten Buleleng. Penyerahan sertifikatnya akan dilakukan bersamaan dengan seminar dan sosialisasi indikasi geografis di Bali, pada 11 hingga 13 Desember 2008.
Sekadar informasi, berdasarkan UU No.14 Tahun 1997 tentang Merek, khususnya Bab IXa dan PP No. 51 Tahun 2007, indikasi geografis didefinisikan sebagai suatu tanda yang menunjukan daerah asal suatu barang yang karena faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.
Pemberian sertifikat perlindungan indikasi geografis itu, maksudnya tak lain untuk melindungi kekayaan yang ada di dalam negeri selain hak cipta, paten, dan merek. Kopi Kintamani Bali merupakan pilot project dan pemohon pertama setelah pemerintah membuka pendaftaran produk indikasi geografis sejak September tahun lalu.
Kini setelah kopi Kintamani mendapat sertifikat indikasi geografis, pengusaha lain di luar wilayah yang sudah ditentukan dalam peta wilayah tidak boleh menggunakan atau menempelkan label indikasi geografis pada produk itu. Sekedar contoh, jika ada pihak lain yang mengklaim dan menempelkan label kopi Kintamani pada kemasan produknya, padahal produk tersebut dihasilkan bukan dari wilayah Kintamani, maka hal itu merupakan pelanggaran dan pelakunya bisa dituntut.
Dibanding negara lain, menurut Dirjen Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Departemen Hukum dan HAM Andy Noorsaman Sommeng, upaya untuk memberikan perlindungan indikasi geografis memang hal yang baru di Indonesia.
Andy memaparkan, dua negara yang telah menerapkan hal ini pada komoditi khas daerahnya adalah Prancis dan Thailand. Makanya, "Minuman wine atau champagne kini tidak boleh digunakan oleh negara lain," ujarnya seraya memberi contoh mengenai komoditas khas Perancis itu. Karena itu, jangan heran kalau sekarang awak kabin pesawat asing, macam Qantas Airlines hanya ditawarkan sparkling wine," jelasnya.
Meski terbilang baru, menurut Andy, upaya untuk memberikan peningkatan ekonomi bagi para petani yang ada di Indonesia tetap penting. "Dengan adanya indikasi geografis, petani akan diuntungkan karena negara lain yang memproduksi dan memasarkan suatu produk dari wilayah di Indonesia minimal harus meminta izin dan membeli bahannya dari wilayan tersebut." ujarnya.
Sebagai negara beriklim tropis yang memiliki banyak sumber daya alam yang khas, menurut Andy, Indonesia memang memiliki banyak produk khas yang berpoteni mendapatkan perlindungan indikasi geografis. Produk-produk itu misalnya dodol Garut, markisa Medan, kopi Gayo, kopi Toraja, salak Pondoh, dan pempek Palembang. "Karena memiliki banyak produk yang berpotensi itulah, maka perlindungan indikasi geografis akan produk terkait menjadi penting," ujarnya.
Selain kopi arabika Kintamani Bali, menurut Staf Khusus Irjen Perkebunan Departemen Pertanian Riyaldi, sudah ada 5 produk dari Jepara yang telah siap mendapat sertifikasi indikasi geografis. Kelima produk itu adalah susu kambing Kali Jesing, ukiran Jepara, kerupuk tenggiri, kacang Open, serta blenyek ngemplak Jepara (sejenis ikan laut yang dikeringkan). "Sampai saat ini, kelima produk tersebut tinggal mendapat sertifikasi karena survei sudah kami lakukan dan permohonan juga sudah disampaikan kepada kami dan Dirjen HKI," jelas Riyaldi.